Inspirasa.co – Kejaksaan Agung (Kejagung) membeberkan angka dugaan kerugian negara dari kasus dugaan korupsi impor minyak mentah di Subholding Pertamina, bisa saja lebih besar dari Rp 193,7 triliun.
Hal itu disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. Jumlah kerugian negara Rp 193,7 triliun itu baru dihitung hanya untuk tahun 2023 saja.
Angka saat ini disampaikan barulah dugaan awal saja. Jumlah kerugian negara yang terjadi pada 2018-2023 masih dihitung.
“Di beberapa media kita sampaikan bahwa yang dihitung sementara, kemarin yang sudah disampaikan di rilis, itu Rp 193,7 triliun. Itu (hanya) tahun 2023,” kata Harli.
Harli bilang, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih.
“Tetapi kan kita sampaikan bahwa tentu ahli keuanganlah yang akan menghitungnya berapa besar nanti kerugian itu,” tambahnya.
Perhitungan kerugian negara Rp 193,7 triliun yang terjadi pada 2023 dihitung dari sejumlah komponen. Komponen itu yakni:
1. Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp 35 triliun.
2. Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun.
3. Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun.
4. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun.
5. Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.
Kejagung dan ahli perhitungan kerugian negara akan menghitung apakah komponen yang sama terjadi pada 2018-2022 sehingga nantinya diketahui jumlah kerugian negara sebenarnya.
“Misalnya, apakah kompensasi itu berlaku setiap tahun? Apakah subsidi misalnya tetap nilainya setiap tahun? Nah, itu barangkali pertimbangan-pertibangannya,” kata dia.
“Jadi, ini juga supaya tidak salah tafsir, ya, makanya kita sampaikan ya, coba media lah yang menghitung. Ya kan? Karena itu yang disampaikan kemarin di 2023 (saja),” ucapnya.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka. Mereka adalah:
1. RS (Riva Siahaan) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;
2. SDS (Sani Dinar Saifuddin) selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;
3. YF (Yoki Firnandi) selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping:
4. AP (Agus Purwono) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International;
5. MK AR (Muhammad Kerry Andrianto Riza) selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa;
6. DW (Dimas Werhaspati) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;
7. GRJ (Gading Ramadhan Joedo) selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak;
8. MK (Maya Kusmaya) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga;
9. EC (Edward Corne) selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
Pada 2018-2023, untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri harus wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum impor.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Sehingga pada akhirnya harus impor.
Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh kontraktor kontrak kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS.
Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah.
Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri.
Kemudian untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan. Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.
Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu di-blending untuk jadi RON 92.
Pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza.
“Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” kata Direktur Penyidikan Kejagung Abdul Qohar.(kumparan.com)
Discussion about this post