Inndonesia – Para akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) menyampaikan peringatan darurat yang paling tegas atas rencana pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) dalam Sidang Paripurna DPR yang disahkan, Selasa, 18 November 2025.
“Kami mengikuti dengan sangat cermat dan prihatin mendalam terhadap proses pembahasan yang terburu-buru dan substansi pasal-pasal dalam UU KUHAP per-13 November 2025 yang nyata-nyata mengandung masalah serius, pasal-pasal karet, dan potensi bahaya yang mengancam hak asasi manusia, kepastian hukum, serta secara spesifik, kebebasan akademik di Indonesia,” jelas KIKA dalam pernyataan resminya diterima media ini. Selasa (18/11/2025).
Pengesahan UU KUHAP ini tidak hanya akan menjadi ancaman bagi masyarakat sipil secara luas, tetapi juga akan secara langsung menghantam jantung kegiatan intelektual dan penelitian kritis.
KIKA memandang UU KUHAP yang disahkan ini sebagai instrumen legislasi yang berpotensi menjadi “Hukum Anti-Kritik” yang legitimasi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, sehingga dapat membungkam para akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang berupaya menjalankan fungsi check and balance terhadap kekuasaan.
Oleh karena itu, KIKA menuntut agar Presiden dan DPR segera menghentikan proses pengesahan UU KUHAP dan menarik kembali draf bermasalah tersebut.
Proses Legislasi yang Mengkhianati Partisipasi Bermakna
KIKA mencatat bahwa proses pembahasan UU KUHAP di Komisi III DPR RI bersama Pemerintah dilakukan secara tergesa-gesa, bahkan hanya diselesaikan di tingkat Panitia Kerja (Panja) dalam waktu dua hari, yaitu pada 12-13 November 2025.
Proses yang terburu-buru ini jelas merupakan praktik legislasi yang buruk dan secara terang-terangan mengkhianati prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Kami menolak alasan yang menyesatkan publik, yang menyebut bahwa pengesahan RUU KUHAP harus dikebut hanya demi menyesuaikan diri dengan pemberlakuan KUHP Baru pada Januari 2026,” tegas KIKA.
Alasan ini tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mengabaikan masukan substantif dari Koalisi Masyarakat Sipil—termasuk suara-suara dari komunitas akademik—yang telah diajukan baik selama Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) maupun secara tertulis.
Mengabaikan pandangan kritis dari pakar hukum acara pidana, kriminologi, dan hak asasi manusia di perguruan tinggi bukan hanya tindakan anti-demokrasi, tetapi juga merupakan bentuk anti-intelektualisme yang merugikan upaya membangun sistem hukum yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
DPR dan Pemerintah wajib merombak total proses pembahasan untuk memastikan setiap pasal diperiksa secara cermat dan mendalam oleh para ahli dan pemangku kepentingan, demi menghasilkan KUHAP yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan supremasi hukum.
Ancaman Pasal-Pasal Berbahaya RUU KUHAP terhadap Kebebasan Akademik
KIKA berpandangan bahwa sejumlah pasal bermasalah dalam UU KUHAP memiliki implikasi bahaya yang sangat nyata terhadap kegiatan akademik, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Penggunaan pasal-pasal ini dapat menjadi senjata baru untuk melakukan kriminalisasi terhadap akademisi kritis yang selama ini lantang menyuarakan kebenaran ilmiah dan mengkritisi kebijakan negara.
Potensi Penjebakan dan Pembungkaman atas Kebebasan Akademik
Pasal 16 UU KUHAP memberikan kewenangan kepada aparat untuk menggunakan metode Operasi undercover buy(pembelian terselubung) dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang diperluas untuk semua jenis tindak pidana dan dapat diterapkan pada tahap penyelidikan—suatu tahap di mana belum terkonfirmasi adanya tindak pidana.
Perluasan kewenangan ini, terutama tanpa pengawasan hakim, membuka ruang lebar bagi praktik penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum.
Dalam konteks akademik, pasal ini dapat digunakan untuk menjebak mahasiswa atau peneliti yang terlibat dalam gerakan sosial, penelitian yang mengkritisi korupsi institusional, atau kajian sensitif lainnya, dengan “menciptakan” tindak pidana melalui operasi terselubung. Hal ini akan melumpuhkan keberanian intelektual dan memicu sensor diri (self-censorship)yang masif di lingkungan kampus.
Pasal-pasal yang mengatur Upaya Paksa, khususnya Pasal 5, 90, dan 93, memungkinkan aparat untuk melakukan pengamanan, penangkapan, bahkan penahanan pada tahap penyelidikan—lagi-lagi, sebelum tindak pidana terkonfirmasi—hanya berdasarkan dalih “mengamankan” atau interpretasi subjektif aparat. Kewenangan tanpa batas waktu penahanan yang terlalu panjang dan tanpa pengawasan lembaga peradilan (habeas corpus) akan menjadi alat koersif yang kuat.
Bayangkan seorang peneliti yang sedang mengumpulkan data sensitif tentang pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan lingkungan; ia dapat dengan mudah diamankan, ditangkap, atau ditahan hanya untuk menghambat proses penelitiannya. Inilah ancaman nyata terhadap otonomi keilmuan.
Penggeledahan dan Penyitaan Tanpa Izin Hakim: Data dan Sumber Informasi Akademik Terancam
Ancaman paling serius terhadap integritas penelitian akademik terletak pada Pasal 105, 112A, 132A, dan 124, yang memungkinkan Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran, hingga Penyadapan dilakukan tanpa izin pengadilan dan hanya dilandaskan pada subjektivitas aparat.
Kebebasan akademik menuntut adanya jaminan kerahasiaan sumber informasi, data penelitian, dan temuan awalyang sangat penting, terutama dalam riset sosial, politik, dan hukum.
Jika aparat dapat menyita perangkat elektronik, memblokir komunikasi, dan menyadap akademisi tanpa judicial scrutiny, maka:
1. Kerahasiaan sumber akan musnah, menempatkan informan dan narasumber kritis dalam bahaya.
2. Integritas data penelitian akan hancur, karena data dapat dimanipulasi, disita, atau bahkan digunakan untuk menjerat peneliti itu sendiri.
3. Aktivitas diskusi dan kolaborasi akademik akan terhambat, karena ketakutan bahwa komunikasi mereka disadap atau diblokir.
Pasal-pasal ini merupakan serangan langsung terhadap hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan ilmu pengetahuan tanpa rasa takut akan represi.
Konsentrasi Kekuasaan di Kepolisian (Police Superpower)
Pasal 7 dan Pasal 8 UU KUHAP yang menempatkan semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), secara efektif menciptakan lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar.
Sentralisasi kewenangan ini melemahkan mekanisme check and balancedan membuat proses hukum lebih rentan terhadap kepentingan institusional tunggal.
Bagi akademisi yang sering kali mengkritisi kinerja lembaga penegak hukum, struktur superpower ini akan semakin menyulitkan upaya pencarian keadilan atau advokasi melalui jalur hukum.
Berdasarkan uraian di atas, kami, para akademisi Indonesia, mendesak dengan tegas:
Berdasarkan analisis ancaman terhadap kebebasan akademik dan prinsip-prinsip demokrasi, Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) menuntut:
1. Hentikan Pengesahan UU KUHAP: Presiden Republik Indonesia harus segera menarik draf RUU KUHAP per 13 November 2025 dari agenda pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna DPR.
2. Laksanakan Partisipasi Bermakna: DPR dan Pemerintah bebal dan tak mengindahkan UU KUHAP, dengan memastikan partisipasi bermakna yang mengakomodasi secara serius dan substantif seluruh masukan kritis dari masyarakat sipil, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP dan komunitas akademik.
3. Perkuat Judicial Scrutiny dan Check and Balance: Konsep perubahan KUHAP harus didasarkan pada penguatan fungsi pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) terhadap upaya paksa, bukan justru melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang aparat.
4. Jamin Perlindungan Akademisi dari Kriminalisasi: Seluruh pasal bermasalah yang berpotensi menjadi alat kriminalisasi terhadap akademisi kritis, peneliti, dan mahasiswa—khususnya Pasal 5, 16, 105, 112A, 124, 132A—harus dihilangkan atau diubah secara fundamental untuk menjamin hak-hak konstitusional kebebasan akademik dan integritas riset.
Demikian pernyataan ini disampaikan, semoga dapat menjadi perhatian semua pihak, khususnya bagi DPR-RI dan Pemerintah untuk memperhatikan masukkan dan suara masyarakat sipil yang menolak pengesahan UU KUHAP, Jika pengesahan UU KUHAP tetap dipaksakan, KIKA memandang ini sebagai kemunduran demokrasi dan pembatasan nyata terhadap tugas mulia perguruan tinggi sebagai sumber pengetahuan dan kontrol sosial.
“Kami akan terus memantau dan melawan segala bentuk upaya yang bertujuan membungkam suara kritis di ruang-ruang akademik dan masyarakat.. Terima Kasih,” tutup KIKA. (*)
















Discussion about this post