Inspirasa.co – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendata angka kematian petugas Pemilu serentak 2024 lalu, telah mencapai 71 orang, dan lebih dari 4.500 lainnya tercatat sakit.
Terkait hal itu, Para pakar angkat bicara dan menyerukan agar KPU dapat melakukan evaluasi menyeluruh.
Selain itu meminta agar KPU melakukan pemisahan antara pemilu di tingkat nasional, dan lokal.
Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem menuturkan, kalau mau ada perubahan, harus direformasi total.
“Nggak bisa lagi pemilu dengan model lima kotak suara seperti ini. Nggak sehat,” Jelas Khoirunnisa Nur Agustyati disadur Inspirasa.co dari BBCNews.
Selain itu Neni Nur Hayati dari DEEP Indonesia menyampaikan, juga menyampaikan perlu ada perubahan.
“Menurut saya harusnya dipisahkan, pemilu yang nasional ya nasional, yang lokal ya lokal. Itu akan lebih memudahkan,” kata Neni Nur Hayati dari DEEP Indonesia.
Undang-Undang No. 7/2017 mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali secara serentak, yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pada 2021, empat petugas pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat mengajukan permohonan uji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka meminta ketentuan soal pemilu serentak dengan lima kotak suara sekaligus dibatalkan, apalagi mempertimbangkan banyaknya korban jiwa pada pemilu 2019.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah memisahkan pemilu legislatif daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR dan DPD.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan tersebut.
Argumen soal beban kerja tinggi para petugas pemilu di lapangan disebut terkait dengan manajemen pemilu yang menjadi tanggung jawab penyelenggara. Karena itulah, pemilu presiden dan legislatif tetap berlangsung serentak pada 2024.
Risiko berjalannya pemilu serentak seperti di 2024 adalah para pemilih kerap hanya fokus pada kandidat presiden dan wakil presiden, sehingga para calon anggota legislatif atau caleg pun jadi terlupakan, tambah Neni.
Akhirnya, saat masuk ke bilik TPS, pemilih bingung menghadapi banyaknya pilihan caleg dan cenderung memilih selebriti yang wajahnya dirasa familier.
“Padahal, sebetulnya secara kapasitas, secara politik gagasan, mereka [caleg artis] sama sekali kurang. Ini yang sebenarnya sangat disayangkan,” kata Neni.
“Karena masyarakat bingung, ya sudah akhirnya masyarakat coblos saja yang mereka tahu, yang mereka kenal.”
Maka, Khoirunnisa dan Neni sama-sama mendorong revisi UU No. 7/2017 tentang pemilu. Menurut mereka, ini harus dilakukan segera, mumpung masih ada lima tahun sebelum pemilu selanjutnya pada 2029.
Apalagi, pembahasan revisi UU bisa berlangsung tahunan, kata Khoirunnisa.
Sementara itu, untuk pemilu selanjutnya, anggota KPU Idham Holik berharap setidaknya proses penghitungan suara di TPS dapat dibagi ke dua panel berbeda sehingga prosesnya bisa lebih cepat.
Dengan begitu, bakal ada anggota KPPS di satu panel yang menghitung perolehan suara calon presiden dan wakil presiden serta anggota DPD, serta anggota di panel lain yang menjumlah suara calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Namun, Khoirunnisa menilai ide ini sulit diterapkan. Apalagi, hanya ada satu pengawas dan saksi partai politik yang bertugas di tiap TPS, sehingga sulit untuk mengawasi proses penghitungan di dua panel berbeda.
“Jadi ya memang desain keserantakannya yang menurut saya perlu diubah untuk bisa meminimalisir petugas kelelahan itu,” tegasnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Hasyim Asy’ari, saat konferensi pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (19/2/2024) menyampaikan, berdasarkan monitoring pihaknya terhadap status atau situasi daribpara penyelenggara pemilu badan ad hoc terutama pada peak season yang bebannya berat pada tanggal 14 Februari sampai 18 Februari 2024 pukul 23.58.
“Dalam catatan kami yang meninggal ada 71 orang. ada satu orang yang merupakan anggota panitia pemilihan kecamatan (PPK),” Ungkapnya.
Kemudian, anggota panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan sekitar empat orang.
Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS sebanyak 42 orang. Lalu, anggota Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang meninggal sekitar 24 orang saat menjaga keamanan kegiatan pemungutan dan penghitungan suara.
Sementara itu, yang sakit mencapai 4.567 orang dengan rincian pada tingkat kecamatan atau anggota PPK 136 orang, di tingkat PPS 696 orang, dan KPPS ada 3.371 orang. “Untuk Linmas yang sakit ada 364 orang,” ucapnya.
Data Kementerian Kesehatan hingga 17 Februari, pukul 18.00 WIB, mencatat ada 57 petugas pemilu yang telah wafat di sejumlah provinsi berbeda.
Ini mencakup anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), petugas perlindungan masyarakat (Linmas), saksi dan pengawas tempat pemungutan suara (TPS).
Data ini merupakan data gabungan angka dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dan daerah, dinas kesehatan berbagai wilayah, serta laporan dari sejumlah media lokal dan nasional per 19 Februari, dan menemukan bahwa angka kematian petugas pemilu telah menyentuh setidaknya 100 orang. Sementara itu, ada 7.163 petugas yang tercatat sakit.
Discussion about this post