Inspirasa.co – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) soroti bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
“Kami menyampaikan duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa, luka-luka, serta kerugian sosial-ekonomi yang dialami masyarakat di Sumatera akibat bencana banjir yang tengah berlangsung,” disampaikan KIKA dalam rilisnya pada Senin, (8/12/2025).
“Di tengah penderitaan ini, kami berdiri bersama keluarga yang kehilangan orang tercinta, bersama warga yang kehilangan rumah dan mata pencaharian, serta bersama komunitas lokal yang kini harus berjuang untuk bangkit dari keterpurukan,” sambung KIKA.
Rasa sakit ini semakin diperparah oleh pernyataan dan tindakan sejumlah pejabat yang menunjukkan minimnya empati. Alih-alih fokus pada penyelamatan warga, mitigasi, dan penyelidikan menyeluruh, respons yang muncul justru mengesankan pengalihan isu atau bahkan menyalahkan faktor-faktor yang tidak relevan.
Bencana yang menimpa masyarakat di wilayah ini tidak dapat dipandang semata sebagai musibah alamiah. Ia adalah hasil dari serangkaian keputusan politik yang mengabaikan kajian ilmiah, menyingkirkan suara akademisi, dan menutup mata terhadap peringatan berbagai organisasi lingkungan. Ketika sains dipinggirkan, maka yang lahir bukanlah pembangunan, melainkan kerentanan baru yang menjerat rakyat kecil.
Kerusakan ekosistem di Bencana Sumatera (Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara) secara konsisten diperburuk oleh deforestasi dan alih fungsi lahan yang dilakukan perusahaan-perusahaan skala besar. Hilangnya tutupan hutan di hulu—sering kali di bawah payung konsesi yang didukung elite ekonomi dan politik—menghilangkan daya serap air dan memicu banjir bandang di hilir.
“Elite yang kekuatannya bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (batubara, kayu, sawit) secara inheren tidak memiliki kepekaan terhadap bencana ekologis,” jelas KIKA.
Bagi mereka, bencana hanyalah “eksternalitas” yang harus ditangani, bukan konsekuensi langsung dari model bisnis dan kebijakan ekonomi politik yang mereka dorong. Daerah dipandang sebagai ruang ekstraksi keuntungan, bukan sebagai ekosistem rapuh yang dihuni komunitas rentan.
Kebijakan yang diambil tanpa basis pengetahuan memperlihatkan wajah asli tata kelola kita: lebih memprioritaskan kepentingan jangka pendek dan relasi kuasa oligarki dibanding keselamatan warga.
Relasi kuasa ini sekaligus menegaskan bahwa pusat masih melihat daerah sebagai wilayah eksploitasi, bukan sebagai ruang hidup yang wajib dilindungi.
Pengabaian sains ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks pihak yang kini berada di garis depan penanganan bencana. Sebagai misal, peran sentral BNPB dalam merespon situasi bencana di Aceh.
BPPB memiliki rekam jejak panjang dalam operasi-operasi keamanan di Aceh pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) 1989–1998 dan Darurat Militer/Sipil (DM/DS).
Pengalaman institusional dari masa-masa tersebut membentuk pola pengambilan keputusan yang sentralistik, top-down, dan militeristik, di mana stabilitas dan perintah komando lebih diutamakan daripada sensitivitas sosial-ekologis.
Pola pikir semacam ini meminggirkan kajian ilmiah, karena kebijakan dijalankan dengan logika instruksi, bukan dengan basis pengetahuan yang akuntabel.
“Dengan demikian, kami menilai tragedi ini sebagai bencana kebijakan, sebuah istilah yang menegaskan bahwa penderitaan rakyat bukanlah takdir alam, melainkan akibat langsung dari serangkaian keputusan politik yang keliru,” tegas KIKA.
Parahnya, rezim tetap bergeming. Enggan menetapkan status bencana di sumatera (Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara) sebagai bencana nasional. Padahal pemerintah pusat tau betul jika kas daerah menepis pasca pemangkasan dana transfer daerah.
Soroti Rendahnya Pendanaan Bencana
Lebih gilanya, pos pendanaan bencana yang terparkir di BNPB, hanya berkisar 491 milliar. Jauh lebih tinggi anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mencapai 1,2 triliun per hari. Rezim ini memang tidak punya sense of humanity.
Jika mereka punya rasa kemanusiaan, semua anggaran mestinya dialihkan dengan memprioritaskan anggaran penananganan di bencana sumatera. Anggaran MBG, proyek strategis nasional (PSN) dan lainnya harus distop. Jika tidak, rezim ini berarti ikut membunuh rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Lebih jauh, pola pengambilan keputusan yang sentralistik dan oligarkis ini juga telah mengikis kepercayaan publik. Masyarakat melihat bahwa suara mereka tidak pernah benar-benar didengar, sementara dampak kebijakan justru menghantam kehidupan sehari-hari: hilangnya mata pencaharian, kerusakan lingkungan hidup, hingga jatuhnya korban jiwa.
Dalam konteks inilah KIKA menegaskan bahwa tragedi di Sumatera bukan sekadar peristiwa lokal, tetapi cermin dari kegagalan tata kelola nasional. Peristiwa ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem kebijakan ketika ilmu pengetahuan dikesampingkan, dan betapa berbahayanya ketika arah pembangunan ditentukan oleh kepentingan oligarki, bukan oleh kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.
Berdasarkan situasi tersebut, KIKA menyampaikan tuntutan berikut:
1. Mengutamakan sains sebagai dasar kebijakan lingkungan dan tata ruang, termasuk membuka akses publik terhadap data dan kajian akademik.
2. Melakukan investigasi independen terhadap dugaan keterlibatan perusahaan atau pihak-pihak tertentu dalam kerusakan ekosistem yang memperburuk banjir.
3. Menghentikan seluruh bentuk intimidasi terhadap akademisi, peneliti, maupun warga yang menyampaikan kritik berbasis bukti ilmiah.
4. Memprioritaskan keselamatan dan pemulihan korban banjir dengan langkah mitigasi dan rencana tata ruang jangka panjang yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
5. Menghentikan semua pendanaan MBG, PSN, dan proyek obsesi politik rezim lainnya, dan mengalihkan kepada penanganan bencana sumatera.
6. Meminta para pejabat publik untuk menunjukkan empati, kepekaan, dan tanggung jawab, bukan pernyataan yang menyakiti atau meremehkan penderitaan masyarakat.
7. Menyampaikan solidaritas penuh kepada masyarakat Sumatera yang terdampak bencana antropogenik ini. KIKA siap mendukung upaya advokasi, dan penguatan suara warga agar tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang salah arah.
KIKA meyakini bahwa kebebasan akademik adalah fondasi penting untuk memastikan kebijakan publik berjalan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keberpihakan pada rakyat.
Bencana ekologis banjir Sumatera, tidak saja melanda Aceh, Sumbar dan Sumut melainkan pula memiliki dampak yang lebih luas pada seluruh regional Pulau Sumatera sebagai satu kesatuan yang holistik (biotik, abiotik dan manusia).
Oleh karenanya, tragedi ini harus menjadi momentum untuk memperkuat integritas pengetahuan dan tata kelola lingkungan, bukan sekadar rutinitas respons darurat.

















Discussion about this post