Inspirasa.co – PBB dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengungkap, saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.
Artinya suhu bumi tercatat terus mengalami peningkatan sehingga tidak lagi sekadar global warming, tetapi mengarah pada global boiling.
Berdasarkan pantauan data dari WMO dan program Copernicus, suhu permukaan bumi dan lautan melonjak tajam. Rata-rata suhu permukaan selama 23 hari pertama Juli 2023 mencapai 16,95 derajat celsius, jauh di atas catatan suhu terpanas global yang terjadi pada Juli 2019 lalu sebesar 16,63 derajat celsius.
Serupa dengan suhu permukaan bumi, rata-rata suhu lautan di seluruh samudera mencatat rekor terpanas sejak April 2023 lalu. Kenaikan terpantau melejit pada pertengahan Mei 2023 dan mencapai rekor pada 19 Juli 2023 pada suhu 20,94 derajat celsius, melebihi rekor tahun 2016 silam.
Implikasi dari kenaikan suhu yang signifikan tersebut adalah munculnya gelombang panas di sebagian besar Amerika Utara, Asia, dan Eropa, serta kebakaran hutan di banyak negara, seperti Kanada, Italia, dan Yunani.
Kondisi demikian berpotensi besar menurunkan kualitas kesehatan masyarakat, kerugian ekonomi, serta kerusakan kerusakan lingkungan secara menyeluruh.
Dikatakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres, bahwa era pemanasan global telah berakhir dan era pendidihan global telah tiba (Kamis, 27/07/2023). Disadur inspirasa.co dari tempo.co.
Ia menegaskan kenikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius masih mungkin ditahan, tetapi hanya bisa dilakukan dengan aksi iklim yang radikal dan menargetkan langsung pada sumber penyebab pemanasan global.
Era pendidihan global ini menandai penurunan laten pada daya dukung bumi terhadap makhluk hidup. Penyebab terbesar naiknya level pemanasan global ke level boiling adalah pembakaran bahan bakar fosil.
WMO melaporkan, emisi karbon dari bahan bakar fosil telah memenuhi atmosfer bumi dengan jumlah fantastis. Lembaga Global Carbon Project (GCP) menghitung setidaknya emisi karbon dari bahan bakar fosil mencapai 36,6 gigaton sepanjang tahun 2022.
Kontribusi terbesarnya berasal dari makin masifnya penerbangan internasional pascapandemi Covid-19.
Total emisi karbon dari bahan bakar fosil disumbang oleh empat sumber, yaitu batu bara, minyak bumi, gas alam, dan semen. Perhitungan GCP pada tahun 2022 menunjukkan emisi karbon dari batu bara menjadi porsi paling besar, yakni sekitar 41 persen dengan total polutan sebanyak 15,1 gigaton. Urutan kedua adalah minyak bumi dengan besaran emisi karbon 12,1 gigaton, disusul gas alam (7,9 gigaton), dan sisanya adalah industri semen (1,5 gigaton).
Negara penyumbang emisi bahan bakar fosil terbesar adalah China dengan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 11,4 gigaton. Selanjutnya disusul Amerika Serikat (5,1 gigaton), India (2,9 gigaton), dan Uni Eropa (2,8 gigaton). Dari sisi kelajuan, tren kenaikan emisi terbesar terjadi di India dengan pertumbuhan sekitar 6 persen setahun.
Aksi iklim
Catatan suhu tertinggi pada Juli 2023 menjadi peringatan keras bagi semua negara di dunia. Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa aksi iklim dan segala upaya untuk mencapai keadilan iklim harus ditingkatkan di semua level. Terutama bagi negara-negara G20 yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi karbon global.
Bahasan tentang keseriusan dalam aksi iklim akan menjadi topik utama dalam pertemuan COP ke-28 di Dubai pada November 2023 mendatang. Antonio menyoroti perlunya pembaruan target penurunan emisi negara-negara G20. Tujuannya, target net zero emission dapat benar-benar tercapai pada tahun 2050 mendatang.
Langkah-langkah setiap negara dalam menurunkan emisi karbon di negaranya tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen tersebut berisi target karbon yang harus dikurangi dalam mencapai karbon netral di negara bersangkutan. Khusus untuk Indonesia, dalam dokumen NDC terbaru, pemerintah menargetkan penurunan emisi paling ambisius mencapai 43,2 persen pada tahun 2030. Reduksi emisi karbon sebesar itu diskenariokan dengan bekerja sama atau mendapat bantuan dari asing.
Bila hanya mengandalkan usaha sendiri dari domestik, target reduksi emis karbon di Indonesia berkisar 32 persen pada tahun 2030 nanti. Secara keseluruhan target net zero emission Indonesia baru akan tercapai pada tahun 2060.
Salah satu negara di dunia yang menunjukkan misi ambisius dalam mereduksi emisi karbon adalah Jepang. Negara tersebut menargetkan penurunan emisi GRK hingga 46 persen pada tahun 2030 dan mencapai karbon netral pada tahun 2050.
Selain itu, ada pula Selandia Baru yang akan menekan emisi karbon sebanyak 50 persen tahun 2030 dan bebas emisi GRK lebih cepat sebelum tahun 2050. Terakhir, negara yang termasuk paling ambisius adalah Inggris yang berencana mengurangi emisi GRK sebanyak 68 persen pada tahun 2030 mendatang.
Dalam implementasi menurunkan emisi karbon, ada sejumlah langkah yang dapat ditempuh. Dua di antaranya melalui skema pajak karbon dan bursa karbon. Artinya, aksi iklim oleh individu, komunitas, industri, perusahaan, kota, dan lembaga pemerintahan dapat berjalan secara kolektif.
Aksi iklim selanjutnya menyasar pada skema investasi untuk adaptasi di tengah gelombang cuaca ekstrem dan dampak lain dari krisis iklim. Investasi tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jutaan orang dari bencana dan wabah penyakit, khususnya di negara-negara dengan perekonomian lemah.
IMF menyebut krisis iklim adalah eksternalitas global yang mampu menggoyahkan stabilitas ekonomi banyak negara.
Swiss Re, sebuah lembaga asuransi global di Swiss, melakukan simulasi kehilangan ekonomi akibat kenaikan suhu global. Kenaikan suhu di kisaran 1,5-2 derajat celsius ternyata mampu menekan ekonomi hingga minus 4,2 persen di seluruh dunia. Apabila mencapai 2 derajat Celsius maka penurunan ekonomi melonjak hingga negatif 11 persen.
Mirisnya, dari semua wilayah di dunia, Asia diestimasi sebagai kawasan yang terdampak paling besar, yaitu hingga minus 17 persen.
Proyeksi kerugian ekonomi akibat krisis iklim di masa mendatang menjadi momentum untuk koreksi arah sistem keuangan global, khususnya pendanaan aksi iklim. Salah satu skema pendanaan aksi iklim adalah dana loss and damage yang disepakati pada COP 27 tahun 2022 di Mesir.
Skema dana tersebut bertujuan untuk meningkatkan upaya mitigasi yang bersifat mencegah, meminimalisasi, dan mengatasi dampak negatif secara signifikan.
Dengan kian besarnya risiko yang ditimbulkan krisis iklim di masa depan, tantangan negara-negara dunia akan semakin berat. Oleh karena itu, perencanaan pendanaan iklim di level nasional dan global harus tuntas dan menyasar ke seluruh sektor pembangunan dan perekonomian. Dengan alokasi dana yang memadai akan tercipta langkah mitigasi yang optimal.
Suhu terpanas yang kembali memecahkan rekornya di dunia pada Juli 2023 ini seyogianya menjadi refleksi seluruh umat manusia. Aksi-aksi mitigasi iklim yang radikal harus dilakukan mulai dari level masyarakat hingga tingkatan negara. Pertarungan dalam mereduksi emisi karbon ini harus berhasil dimenangi oleh segenap warga dunia demi menjamin keberlangsungan kehidupan generasi mendatang.
Discussion about this post