Samarinda – Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menyatakan bahwa tingginya angka pernikahan dini di Samarinda bukan sekadar persoalan budaya atau ekonomi, melainkan merupakan cerminan kegagalan sistemik dalam melindungi dan mendampingi anak-anak.
“Tingginya dispensasi nikah itu bukan sekadar angka. Itu tanda kita belum hadir secara utuh untuk anak-anak,” ujar Puji, Jumat (25/7/2025).
Data Kementerian Agama menunjukkan 116 permohonan dispensasi nikah pada 2023, turun sedikit menjadi 105 kasus pada 2024. Namun hingga Mei 2025, tercatat sudah ada 36 permohonan dengan tren kenaikan yang mengkhawatirkan.
Menurut Puji, angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi sesungguhnya, karena banyak pernikahan dini yang dilakukan secara siri dan tidak tercatat secara hukum.
“Masih banyak yang memilih jalur penghulu liar. Ini menunjukkan lemahnya edukasi dan pengawasan,” katanya.
Ia menilai akar masalah terletak pada minimnya pemahaman keluarga mengenai pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi. Anak perempuan, kata dia, kerap dikorbankan hanya karena dianggap cukup umur secara fisik.
“Banyak yang pikir sekolah nggak penting, yang penting bisa kerja dan bantu ekonomi. Padahal risiko ke depan jauh lebih besar,” jelasnya.
Puji mengingatkan bahwa pernikahan dini sering kali berujung pada putus sekolah, kerentanan ekonomi, dan risiko kekerasan dalam rumah tangga akibat ketidaksiapan mental pasangan muda. Dalam situasi tersebut, anak kehilangan hak dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara utuh.
Ia menegaskan bahwa slogan “kota layak anak” tidak cukup tanpa adanya sistem pendukung yang nyata. Puji mendorong intervensi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, DPRD, sekolah, tokoh agama, dan masyarakat.
“Kita harus hadir lebih aktif di tengah masyarakat. Bangun layanan konseling keluarga, perkuat edukasi seksual dan kesehatan reproduksi, serta sediakan ruang aman bagi anak dan remaja,” tutupnya.(ADV)
Discussion about this post