Inspirasa.co — Salah seorang wali murid di SMA Negeri 1 Bontang mengeluhkan iuran listrik yang dibebankan pihak sekolah. Kendati nilainya Rp20 ribu, namun dirasa memberatkan karena iuran mesti dibayar setiap bulan.
Wali murid yang tak ingin disebutkan namanya ini menjelaskan, dua pekan lalu, melalui bendahara dan komite sekolah, anaknya mendapat peringatan lantaran menunggak iuran bulanan Rp20 ribu selama 3 bulan.
Peringatan itu juga disampaikan ke grup WhatsApp sekolah. Anak wali murid itu, diultimatum untuk melunasi tunggakan iuran Rp60 ribu, akumulasi iuran 3 bulan, diminta paling lambat Jumat ini.
“Dua minggu lalu wali kelasku ngomong kalau komite sekolah sudah menagih uang listrik,” kata wali murid yang enggan disebutkan namanya ini, mengulang pengakuan anaknya terkait tagihan uang listrik sekolah. Kamis (14/11/2024).
Kendati nilainya hanya Rp20 ribu, namun wali murid merasa tarikan uang lisrik sekolah itu cukup memberatkan. Sebab iuran itu mesti dibayar setiap bulan, sementara masih banyak kebutuhan lain membutuhkan biaya.
Tarikan ini pun dipertanyakan, mengingat status SMA Negeri 1 ialah sekolah negeri, bukan swasta. Mestinya di sekolah negeri tak ada tarikan-tarikan yang dibebankan ke siswa, menurut wali murid ini.
Dikonfirmasi, Kepala Sekolah SMA Negeri 1, Sumariyah, mengakui adanya iuran listrik yang dibebankan kepada siswa. Dia mengaku iuran ini terpaksa diberlakukan, sebab biaya operasional sekolah membengkak, sementara bantuan ke sekolah justru berkurang.
Sumariyah menjelaskan, sejak UU 23 tentang pemerintah daerah, kewenangan SMA/SMK dan SLB diambil alih provinsi, membuat bantuan dana operasional untuk SMA Negeri 1 Bontang menyusut.
Sumariyah merincikan, ada sekitar 244 sekolah SMA/SMK dan SLB yang berada dibawah kewenangan provinsi.
Sehingga ada keterbatasan 20 persen dana pendidikan untuk biaya operasional sekolah yang harus dibagi. Dimana, 20 persen ini pun dibagi untuk gaji, insentif dan sertifikasi guru.
Akibat penerapan regulasi ini SMA Negeri 1 disebut kehilangan Rp2 juta per siswa per tahunnya.
“Jadi ada kehilangan dana sekitar Rp 1,6 miliar lebih, dari tahun 2017 sampai sekarang,” jelasnya dikonfirmasi media ini Kamis (14/11/2024).
Sebelum penerapan regulasi itu, SMA Negeri 1 memiliki 3 sumber pendanaan. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Jadi kata Sumariyah sebelumnya dana dari pemerintah kota justru porsinya lebih besar ketimbang 2 sumber pendanaan lain.
“Begitu kami dialihkan ke provinsi, dana di Kabupaten/Kota tak ada lagi. Padahal dana yang diberikan dari Kabupaten/Kota itu sebesar Rp 2 juta. Terus dana yang diberikan provinsi yang tadinya Rp 1 juta menjadi Rp 900 ribu, namun dari pusat tetap tapi kecil. Jadi ada pengurangan dana,” jelasnya.
Sumariyah menjelaskan, saat pandemi Covid-19 di tahun 2021-2022 pihak sekolah tak mengalami kendala. Lantaran tak ada kegiatan belajar mengajar di sekolah kurang lebih 2 tahun.
“Tetapi begitu sudah aktif belajar anak-anak selama ini banyak keluhan terasa panas saat proses belajar di kelas. Pada saat mau mengikuti kegiatan apapun tidak bisa dilaksanakan lantaran kekurangan dana operasional sekolah,” jelasnya.
Karena anggaran operasional sekolah terbatas, walhasil pihak sekolah melalui komite sekolah berinisiatif memberlakulan iuran Rp20 ribu per bulan per siswa. Uang ini digunakan untuk memperbaiki AC di kelas, juga buat membayar tagihan listrik. Memastikan 1 AC dan 2 kipas berjalan di kelas diperlukan agar proses belajar mengajar nyaman untuk semua, tidak kepanasan.
“Jadi iuran ini melalui rapat bersama orang tua siswa, bukan asal-asalan. Uang iuran ini murni dikelolah oleh komite sekolah, dan juga digunakan untuk membantu semua kegiatan-kegiatan siswa selama ini,” ungkapnya.
Iuran dari siswa ini digunakan untuk membantu membayar listrik seperti pengunaan AC di seluruh ruangan kelas, ditambah 2 kipas angin.
Dirincikan penarikan iuran Rp20 ribu diterapkan untuk siswa kelas 1 dan 2. Sementara kelas 3 Rp200 ribu setahun.
Dijelaskan, untuk biaya operasional listrik sebelum menggunakan AC, pihak sekolah hanya membayar sebesar Rp 9 juta.
Namun setelah menggunakan AC, biaya operasional sekolah pun membengkak sebesar Rp 19 juta. Kendatipun biaya listrik telah dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sekolah sebesar Rp 12 juta.
“Artinya sekolah SMA Negeri 1 dengan luasan seperti ini, dana yang diperlukan sangat kurang. Secara nasional di tahun 2016 kami pernah mengikuti diseminasi dari pusat, menanyakan berapa standar minimal biaya pendidikan secara nasional, saat itu biaya minimal untuk SMA sebesar Rp 5 juta. Sedangkan kami di tahun 2017-2018 sebesar Rp 2.400.000, artinya enggak mencapai 50 persen kan,” ungkapnya.
Sumariyah bilang, selain itu yang perlu diketahui sebenarnya di UU Sisdiknas tentang sistem pendidikan nasional disitu dijelaskan wajib belajar bukan 12 tahun, tetapi 9 tahun, tertulis bahwa wajib belajar dari usia 7 sampai 16 tahun, itu untuk usia SMP.
Sementara saat ini, ada perubahan kebijakan wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun untuk setingkat SMA.
“Jadi di dalam pernyataan UU itu, sudah jelas disampaikan apabila pemerintah atau pemerintah daerah mengambil kebijakan wajib belajar 12 tahun maka pemerintah daerah wajib membiayai seluruh pendidikan. Nah kami sekarang ini wajib belajar 12 tahun. Tetapi terpenuhi enggak biaya pendidikan, belum kan. Karena kami belum mencapai 50 persen dari standar biaya nasional,” ungkapnya. (Aris)
Discussion about this post