SAMARINDA – Penerapan sistem zonasi dalam Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) kembali menuai kritik. Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan, menegaskan bahwa zonasi tak bisa diterapkan seragam di seluruh Indonesia tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan ketimpangan infrastruktur antarwilayah.
“Zonasi itu baik sebagai prinsip pemerataan, tapi tidak bisa diberlakukan sama rata. Di Kaltim, jarak dan akses itu tantangan serius,” ujar Agusriansyah saat diwawancarai di Samarinda.
Ia merujuk pada UUD 1945 dan Pasal 31 sebagai dasar konstitusional bahwa pendidikan dasar adalah hak setiap warga negara. Menurutnya, sistem zonasi seharusnya berangkat dari prinsip tersebut, bukan semata dari standar kota besar yang memiliki fasilitas lengkap.
Agusriansyah mencontohkan wilayah seperti Kutai Timur, Berau, dan Bontang, yang meski memiliki jumlah rombongan belajar (rombel) memadai, tetap mengalami masalah distribusi siswa. Anak-anak di pedalaman masih harus menempuh jarak jauh untuk bersekolah, lantaran sekolah terdekat tidak tersedia atau tidak sesuai dengan minat mereka.
“Kalau sekolahnya ada tapi aksesnya sulit, atau tidak sesuai minat siswa, apa gunanya zonasi? Ini yang harus dievaluasi secara mendalam,” tegas politisi PKS itu.
Ia menambahkan, ketimpangan sarana prasarana dan kualitas guru antarwilayah membuat kebijakan zonasi berpotensi menciptakan ketidakadilan baru. Karena itu, ia mendorong Pemprov Kaltim untuk merumuskan peraturan daerah (perda) atau petunjuk teknis khusus yang mengatur sistem SPMB sesuai dengan karakteristik daerah.
“Kalau tidak ada regulasi lokal, kita justru melanggengkan diskriminasi terhadap peserta didik. Negara wajib hadir memastikan keadilan,” ujarnya.
Agusriansyah juga mengingatkan bahwa isu zonasi bukan tanggung jawab legislatif semata. Ia meminta pemerintah daerah lebih proaktif, termasuk menjalin komunikasi lintas kementerian, guna menyelesaikan persoalan akses dan sarana pendidikan—mulai dari transportasi sekolah, standarisasi gedung, hingga peningkatan mutu guru.
“Saya kebetulan meneliti soal ini dalam disertasi saya. Maka saya tahu bahwa ini bukan sekadar soal regulasi teknis, tapi soal keadilan sosial,” pungkasnya.
Zonasi semestinya menjadi jembatan pemerataan, bukan penghalang akses. Di provinsi sebesar Kalimantan Timur dengan kondisi geografis yang kompleks, kebijakan pendidikan harus dirancang dengan lensa lokal agar tidak menambah beban masyarakat yang selama ini sudah tertinggal dalam hal akses dan kualitas pendidikan. (Adv/DPRD Kaltim)
Discussion about this post