Suara sirine memenuhi udara di siang hari yang panas itu. Beberapa menit usai raungan perdana sirine, dari kejauhan pesawat kepresidenan perlahan mendekat ke Bandara VVIP IKN di Kelurahan Pantai Lango, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Husss.. pesawat RJ-85 berkelir merah putih itu akhirnya berhasil melakukan pendaratan perdana menyusuri runway sepanjang 2.200 meter. Pendaratan ini disambut meriah. Penuh kegembiraan oleh elit republik. Namun, tak sampai 10 kilometer dari bandara itu, ada ratusan warga Pantai Lango harap-harap cemas akan masa depannya. Sebab, satu-satunya jalan darat yang menghubungkan kampung mereka dengan kawasan lain terancam terputus akibat keberadaan bandara yang diperuntukkan bagi orang-orang penting itu.
–
DARI KEJAHUAN, tampak alat berat mulai bermunculan, bersiap membangun Bandara VVIP, bagian dari megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Proyek yang disebut-sebut sebagai simbol kemajuan negara ini, bagi warga Pantai Lango, bukanlah pertanda baik.
Bagi mereka, proyek ini mengancam akses yang selama ini mereka anggap pasti—jalan yang menghubungkan Pantai Lango ke Penajam, ke pasar, dan ke tempat-tempat lain yang penting untuk keseharian mereka.
Di balik hiruk-pikuk proyek pembangunan Bandara VVIP yang sedang berlangsung, kehidupan masyarakat Pantai Lango terus berjalan. Namun, di antara debu jalanan dan alat berat yang berlalu-lalang, ada ancaman nyata bagi mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya pada akses jalan utama menuju desa. Di balik deru mesin dan konstruksi, tersembunyi kisah para pedagang menjual sayur dan bahan makanan lainnya ke pelosok Pantai Lango.
Rizki—bukan nama sebenarnya—adalah seorang pedagang yang berjualan di Pantai Lango, dengan lugas menceritakan kesehariannya.
“Ambil barangnya di Petung. Jualannya keliling, di sini (Pantai Lango) terakhir,” tuturnya sambil menyiapkan dagangan di atas mobil bak terbuka miliknya.
Dia menggunakan mobil untuk mengambil barang dagangan dan menjangkau banyak desa, termasuk Pantai Lango. Namun, jalur utama yang ia gunakan untuk mendistribusikan barang dagangannya mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat proyek Bandara VVIP.
“Enggak juga setiap hari ke sini, kalau hujan, jalannya di Bandara VVIP jalannya rusak. Kalau hujan ke sini aja jualannya,” tambah Rizki.
Dia menyebutkan bahwa setiap kali hujan turun, jalanan di sekitar kawasan Bandara VVIP berubah menjadi becek dan sulit dilalui, memaksanya untuk menghindari rute itu. Selama berbulan-bulan, Rizki mengambil barang dagangan dari Petung, menuju Pantai Lango dan desa-desa sekitarnya.
Namun, dari segala hal yang terjadi akibat pembangunan bandara VVIP IKN, ada satu hal paling dikhawatirkan Rizki: rencana penutupan jalan di area Bandara VVIP. “Aksesnya jalannya di situ aja, kalau mau ke Pantai Lango yah di situ saja, kalau ditutup enggak bisa lewat, jalannya kan di situ aja, di sini kan banyak kampung,” ujarnya.
Jalan itu adalah satu-satunya akses bagi banyak kampung, termasuk Pantai Lango. Jika ditutup, maka bukan hanya Rizki yang akan kesulitan, tapi seluruh warga yang menggantungkan hidup pada mobilitas di jalur itu.
Namun, Rizki bukan satu-satunya pedagang yang mengandalkan jalan ini. Ada juga Nanda– juga bukan nama sebenarnya. Nama Rizki dan Nanda dalam laporan ini tim penulis samarkan demi alasan keamanan. Mengingat, sejumlah warga yang dijadikan narasumber atau kritis terhadap pembangunan IKN mengaku kerap mendapat intimidasi dari aparat.
Seperti halnya Rizki, Nanda adalah seorang pedagang yang lebih lama berjualan di Pantai Lango, juga merasakan kekhawatiran yang sama. Ia adalah salah satu pedagang yang sudah lama menjajakan sayur dan ikan di sekitar Penajam dan Jenebora. Barang dagangannya, seperti ikan, diambil langsung dari tambak di Babulu dan sayur-sayuran dari petani setempat.
“Ambil ikannya di tambak di Babulu, aku enggak pernah (ambil) di Penajam. Sayurnya juga di Babulu, kan pertaniannya di Babulu semua biar ikannya di Babulu juga,” kata Nanda dengan tegas.
Nanda bercerita bahwa ia berusaha untuk memberikan dagangan yang paling segar dan lengkap bagi pelanggannya. “Sayur-sayurnya yang saya jual langsung ambil di petani, makanya yang saya jual lengkap kalau yang lain enggak lengkap. Soalnya saya ambil langsung ke petani,” tuturnya.
Kualitas dagangan yang ia jaga selama bertahun-tahun menjadi alasan mengapa ia terus bertahan di daerah ini. Namun, seperti halnya Rizki, Nanda pun khawatir dengan kondisi jalan yang semakin memburuk.
“Jalan ke sini lewat jalan Bandara VVIP itu, itu aja dia memang bikin jalannya cuma satu, bagian Dishub-nya bingung dia bikin jalanan. Penajam aja cuma satu,” katanya, mengkritik perencanaan infrastruktur yang dinilai terburu-buru dan tidak memperhitungkan kebutuhan masyarakat sekitar.
Ketika ditanya tentang rencana penutupan jalan, Nanda terlihat lebih tegas. “Enggak ada rencana, biar kalo ada tamu, ditutup juga jalannya. Mereka loh semau-maunya saja,” ujarnya.
Nanda menyebutkan bahwa penutupan jalan kerap dilakukan tanpa pemberitahuan yang jelas, seolah-olah masyarakat yang menggantungkan hidup pada jalan itu tidak diperhitungkan dalam kebijakan pembangunan yang sedang berlangsung.
“Mereka kan pakai jam nutupnya, nanti jam sekian terbuka sudah. Mana bisa dia mau tutup, didemo orang kampung, emang dia siapa?” tambahnya, dengan nada yang lebih tegas.
Bagi Nanda, penutupan jalan tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat adalah keputusan yang gegabah. Masyarakat, menurutnya, harusnya memiliki suara dalam setiap kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka.
“Kalau pemerintah tanpa rakyat mana bisa, enggak ada gunanya pemerintah biar presiden, tanpa pendukung apa gunanya,” lanjutnya.
Kalimat itu terucap dengan penuh perasaan. Bagi Nanda pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mendengarkan rakyatnya. “Sekarang di sini banyak orang pintar, cuma enggak mau jadi pintar karena terlalu banyak dibodokin,” tutupnya dengan sedikit getir, seolah-olah ada kekecewaan mendalam terhadap sistem yang menurutnya lebih sering menekan daripada melindungi.
Dalam bayang-bayang megahnya pembangunan Bandara VVIP dan Ibu Kota Nusantara, kisah para pedagang seperti Rizki dan Nanda mungkin terlihat kecil. Namun, bagi mereka, jalan itu adalah urat nadi kehidupan. Mereka tidak menolak kemajuan, tapi yang mereka butuhkan adalah akses yang adil dan perhatian dari pemerintah agar hidup mereka tetap bisa berlanjut dengan layak.
Bagi mereka, jalan ini bukan sekadar jalan, melainkan pintu gerbang menuju keberlangsungan hidup, tempat mereka bisa terus mengais rezeki dan bertahan di tengah gelombang perubahan yang tak pernah mereka undang.
**
SIANG ITU, Musdar (47) menunjukkan kapal pesanan yang tengah digarapnya. Dua unit, dengan ukuran dan bahan baku yang berbeda. Ia mengaku bisa membuat kapal dari bahan baku yang dulunya sempat diwarisi di kampung nelayan Pantai Lango. Berbahan baku kayu meranti merah, yang disebutnya bisa awet sampai 15 tahun lamanya jika dipakai dan dipelihara dengan baik.
“Ada dari kios sebagian, dari Penajam, Sotek sana. Ada yang bawakan ke sini, kita tinggal telepon, lewat darat (distribusinya). Pakai mobil sih biasanya,” terang Musdar sambil melanjutkan pekerjaannya. Ia baru memesan bahan baku kapal, jika memang ada pesanan yang diinginkan nelayan sekitar.
Pesanan bahan baku itu pun tak langsung digarapnya. Ia harus menunggu 1 bulan sampai kayu benar-benar kering. Hal itu, kata dia, berpengaruh pada kualitas dan performa kapal ketika digunakan di perairan air asin. “Karena, kan, menjaga kualitas juga perahu,” ungkapnya.
“Kalau kayu basah itu mungkin nggak nyampe 3 tahun udah mati (kayunya rapuh). Kalau perawatannya bagus, ada sampai 10 tahun. Ya, 15 tahun lah, udah ganti (perahu).”
Selain meranti merah, Musdar kini memilih untuk menyesuaikan biaya yang dimiliki pemesan. Sesuai juga dengan pesanan yang diinginkan. Musdar masih melihat kondisi perekonomian dari pemesan kapalnya. Tak dibanderol rata. “Pasti ada (orderan kapal) dalam satu bulan itu, (harga) tergantung ekonominya orang juga,” ujarnya.
“Meranti merah, (atau) kayu girik. Terakhir, zaman mertua saya masih (menggunakan meranti merah). Ada sih (yang menggunakannya saat ini), cuma harganya agak mahal. Sesuaikan dengan harga, mereka minta meranti merah ya kita usahakan. Beli, dulu kan nggak beli, ambil di hutan. Karena masih ada hutannya.”
Kini, ia menggunakan kayu yang dikenal dengan sebutan kayu medang. Dulu juga, kayu sejenis mangrove dan dikenal sebagai kayu sentigi biasa digunakannya menjadi tulangan perahu yang dibuatnya.
“Itu untuk tulangan saja. Kayu udang-udang (sekarang) ini dipakai untuk pengganti tulangan. Sekarang nyarinya di kios, dulu nebang sendiri, kan banyak dulu di sini (berprofesi) nelayan sama kerja kayu gelondongan,” terangnya.
Jumlah kayu yang dibutuhkan dulu juga tak banyak. Sehingga, penebangan pohon yang dilakukannya tak berdampak besar pada lingkungan hidup di sekitarnya. Saat ini, Musdar tak pernah menebang bahan baku kapalnya sendiri. Semua harus dibeli dari kios. Bahkan, secara kualitas juga jauh berbeda dengan kayu yang dulu bisa ditebang secara cuma-cuma di hutan daratan yang dekat dengan Pantai Lango.
“Nggak banyak, (dulu) sebulan belum tentu (menebang). Kuat dia, kayunya, kan, besar-besar, jauh bedanya (dengan sekarang). Makanya tergantung perawatan (kalau) sekarang. Kalau dulu kayunya besar-besar dan kuat-kuat. Sekarang, asal bisa jadi papan, diambil (ditebang). Orang (yang menjual) juga sih, kami kan cuma beli,” ungkap Musdar.
Di permukiman masyarakat Pantai Lango, listrik juga masih belum stabil. Musdar mengatakan, jika cuaca hujan, listrik pun terkadang tidak mengalir sampai rumah-rumah warga. Cuaca berpengaruh besar pada distribusi listrik sampai ke rumahnya dan hal itu mempengaruhi pekerjaannya sebagai pengrajin kapal. Peralatan yang menggunakan listrik pun tak bisa dipakai ketika hujan dan listrik mati.
“Paling seminggu (proses pengerjaan kapal). Tergantung cuaca, sih,” kata dia.
Pesisir Pantai Jantung Kehidupan Warga
Bermodalkan keinginan untuk belajar, Musdar berguru langsung dengan mertua dan kerabat-kerabat nelayan lainnya dari keluarga istrinya yang merupakan pengrajin kapal. Istri Musdar, adalah salah satu orang keturunan suku Bajau yang masih meneruskan garis keturunannya di Desa Pantai Lango-yang juga mayoritas warganya memang bermata pencaharian menjadi nelayan. Musdar mengaku bisa berbahasa Bajau. Hal itu dipelajarinya langsung dari sang istri.
Selain itu, mayoritas bahasa lokal yang digunakan di Pantai Lango memang Bahasa Suku Bajau dan Bahasa Bugis, serta Paser bagi sebagian keturunan masyarakat Paser yang memilih berpenghidupan di sekitar pesisir Teluk Balikpapan. Bahkan sehari-harinya, Musdar menggunakan Bahasa Bajau untuk berkomunikasi dengan istri dan anggota keluarga lainnya.
Keluarga besar Musdar, memang sudah tinggal di Pantai Lango sejak buyutnya masih hidup. Kemudian diteruskan ke kakek, hingga ayahnya, dan kini, anak-anaknya lah yang akan menjadi penerus suku keturunan Bajau di Pantai Lango. Enam generasi. “Asli orang sini.”
Musdar juga dulunya adalah seorang nelayan. Namun, ia tak lagi dapat mengharapkan hasil laut. “Dulu kan nelayan. Sekarang kan kalau nelayan dilanjut, mungkin nggak cukup buat makan. Terbatas soalnya. Jadi, alih profesi (menjadi pengrajin kapal),” katanya.
Selama 10 tahun lebih, Musdar menjadi salah satu dari beberapa orang pengrajin kapal yang bertahan dan belum memilih untuk alih profesi di Pantai Lango. Dulu, banyak. Namun kini, mereka memilih untuk bekerja di industri-industri yang juga mulai menjamur di Teluk Balikpapan. Utamanya, pabrik pengolahan Crude Palm Oil (CPO). Sekitar tahun 2020 awal, mereka memilih bekerja serabutan di pabrik-pabrik itu.
“Kerjanya serabut aja. Mungkin kalau mau dibandingkan, enak kerja perusahaan, pendapatan tetap, nyata. Tapi itu lagi, kadang nggak ada liburnya. Kalau nelayan, kan suka-suka kita,” urai Musdar.
Warga Dihantui Bayang-bayang Relokasi
Opsi relokasi dari pemerintah juga telah sampai di telinga Musdar. Ia mengetahui betul rencana itu. Bahkan sudah hampir dua tahun lamanya. Sejak penetapan ibu kota negara pindah ke dekat ruang hidupnya. “Kita nggak tahu kan dipindahnya ke mana, tapi sudah (mendengar). Ada isu-isunya.”
Apabila dipindahkan jauh dari pesisir, Musdar terang-terangan menolak dengan tegas rencana itu. “Kita yang menolak, kita kan profesi nelayan dan ini (mengerjakan kapal) harus di pinggir laut, pengrajin kapal ini. Itu kalau (dikerjakan) di atas (jauh dari pesisir), kita mau seperti apa menurunkannya?” tanyanya heran.
Ia memegang legalitas lahan berupa kwitansi jual beli tanah yang didapat melalui mertuanya sendiri. Namun, meski terdapat harga yang pernah dibanderol pada tanah yang kini ditinggalinya, Musdar mengaku tak rela apabila sejarah enam generasi keluarganya itu direnggut begitu saja atas alasan pemerataan pembangunan.
Nelayan, kata dia, tentu tak ingin jauh dari pesisir atau perahu, dan laut yang menjadi sumber penghidupannya selama ini. “Mau berkebun nggak bisa. Turun temurun kan nelayan,” katanya.
Meski sejak dulu generasi keluarganya berprofesi sebagai nelayan, namun Musdar tak mau anaknya juga menjadi seorang nelayan seperti pendahulunya. Kata dia, penghasilan nelayan saat ini tidak bisa diharapkan besaran penghasilannya. Apalagi dengan kondisi perairan yang ada di ruang hidupnya saat ini, sudah banyak industri di sekitar pesisir dan limbahnya yang bermuara di perairan Teluk Balikpapan.
“Sekarang ini kan banyak perusahaan, limbah-limbah itu turun (ke hilir) semua. Terutama di Teluk Balikpapan,” jelasnya.
Zaman dulu, nelayan hidup enak, bahkan tak perlu pendidikan tinggi untuk bertahan hidup di Teluk Balikpapan. “Sekarang, malah terbalik. Malah mau kerja perusahaan, nelayannya nggak ada.”
Musdar juga sempat mendengar desas-desus bahwa jalan akses menuju Pantai Lango akan dipindah. Melewati pesisir. Ada juga sungai yang akan terputus nantinya apabila jalan itu benar-benar akan dipindah melewati pinggiran mangrove.
“Kami kan nggak tahu nanti bagaimana caranya pemerintah mengelola itu,” akunya.
Ketika relokasi benar-benar dilakukan, tradisi yang seharusnya dapat diturunkan Musdar sebagai pengrajin kapal pun tak akan bisa diturunkan kepada anak cucunya kelak. “Ini tradisi (membuat kapal). Nggak bisa lagi nanti diturunkan karena jauh dari laut, kita nggak bisa ngapa-ngapain lagi kan. Terputus juga (tradisi),”kata Musdar.
Akses ke Sekolah Terancam Putus
Sementara, menurut warga Pantai Lango, Rudi– bukan nama sebenarnya– akses jalan itu merupakan program dari pemerintahan desa dan menjadi akses satu-satunya menuju sekolah berjenjang menengah atas atau sederajat; SMA/SMK Inne Dhong Hwa, Kelurahan Gersik, Kecamatan Penajam, kampung tetangga.
“Mereka SMA sekolah di Dhong Hwa, SMP kan masih di sini (Pantai Lango). Terdekat (dari) sini,” jelas pria yang anaknya juga akan bersekolah di sana dalam waktu satu tahun ajaran lagi. “Jam 6 sudah berangkat,” katanya.
“Kalau pakai kapal dua kali, setelah menggunakan kapal, naik ojek lagi. Jauh juga dari pelabuhan ke sekolahannya. Kalau pakai motor kan langsung aja,” lanjutnya. Meski risikonya, jatuh atau kecelakaan karena jalan licin ketika hujan. Hal itu disebabkan truk pengangkut material pembangunan yang kerap kali muatannya berjatuhan di jalan.
“Karena, tanah yang diangkut truk itu akan berjatuhan di jalan dan membuat jalan semakin licin. Kalau hujan, licinnya. Kalau nggak hujan, ya debu. Anak-anak kan setahun lagi, yang mau sekolah (di Dhong Hwa),” kata dia.
Tak jarang, orang tua juga melarang anaknya masuk sekolah ketika hujan tiba. Guru-guru yang mengajar di sekolah itu, kata dia, telah memahami permasalahan itu. Sehingga, dapat memaklumi. Hambatan baru ketika anak-anak tak masuk sekolah, ketinggalan pelajaran. Sebab, hujan membuat jalan akses menuju sekolah menjadi berbahaya. “Nggak mau anak-anak celaka.”
Persimpangan sekolah di Dhong Hwa, juga menjadi akses keluar masuk alat berat yang kini digunakan meratakan dan menimbun tanah untuk pembangunan bandara maupun jalan tol. “Licin, ada banyak alat berat, makanya harus hati-hati anak-anak (yang menggunakan jalan akses tersebut menuju ke sekolahnya),” terang dia. Alat-alat berat milik perusahaan juga kerap kali kecelakaan hingga terbalik.
“Sering terbalik, karena licin. Alat berat yang memuat tanah,” tambahnya.
Selain risiko itu, banjir juga menyebabkan kendala pada kendaraan yang hendak melintas. Belum lagi, kerusakan kendaraan yang dialami setelah kecelakaan juga ditanggung biaya masing-masing. Tak ada ganti rugi dari pihak manapun. Pertanggungjawaban pihak perusahaan, hanya membersihkan sisa-sisa material yang berjatuhan di jalan.
Ini merupakan serial pertama dari liputan kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Kalimantan Timur yang terdiri dari Kaltimtoday.co, Propublika.id, dan Inspirasa.co. Tulisan ini didukung Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda. Tulisan kedua bisa dibaca di sini
Discussion about this post