SAMARINDA – DPRD Kota Samarinda tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang penanggulangan Tuberkulosis (TBC) dan HIV/AIDS. Inisiatif ini muncul dari kekhawatiran atas meningkatnya jumlah kasus, terutama di wilayah perbatasan Kota Tepian.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menyebut bahwa Perda HIV/AIDS yang telah disahkan sejak 2009 tidak berjalan optimal. Menurutnya, regulasi tersebut belum menyentuh kebutuhan riil masyarakat di lapangan.
“Raperda ini merupakan inisiasi Komisi IV karena regulasi yang ada belum cukup menjawab kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Sri Puji menjelaskan, meskipun secara nasional telah ada payung hukum seperti undang-undang dan peraturan presiden, implementasi di daerah masih terhambat. Salah satu faktor penghambat ialah minimnya dukungan anggaran dari pemerintah daerah.
“Banyak organisasi masyarakat sudah bekerja keras mengedukasi dan melakukan pencegahan, tapi terhambat dana. Pemerintah belum maksimal dalam mendukung,” tuturnya.
Ia juga menyoroti minimnya fasilitas kesehatan di Samarinda, khususnya ruang isolasi untuk penderita TBC dan HIV/AIDS. Di RSUD, misalnya, hanya tersedia lima tempat tidur isolasi, sementara jumlah kasus terus meningkat.
“Terutama di wilayah utara dan perbatasan. Banyak warga dari daerah endemis seperti Sulawesi, Madura, dan Banjarmasin masuk ke Samarinda tanpa melalui proses skrining,” jelasnya.
Masalah ketersediaan obat-obatan juga menjadi sorotan. Ia mengungkapkan, meski hasil skrining menunjukkan ribuan kasus, distribusi obat sering kali tidak mencukupi, khususnya untuk kasus TB resisten, TB laten, dan TB pada anak.
Selain TBC, Sri Puji menyoroti penyebaran HIV/AIDS yang kini mengalami pergeseran pasca-penutupan lokalisasi. Ia menyebut kasus kini lebih banyak muncul di tempat hiburan malam dan rumah kos yang sulit diawasi.
“Pasca-lokalisasi ditutup, penyebarannya justru makin sulit dikontrol. Ini harus jadi perhatian dalam kebijakan ke depan,” katanya.
Raperda ini juga dirancang untuk melindungi hak-hak penderita. Ia menegaskan masih banyak penyintas yang mengalami diskriminasi, terutama di dunia kerja dan layanan publik.
“Masih ada perusahaan yang menolak pekerja dengan riwayat penyakit ini. Lewat Raperda ini, kami ingin pastikan tidak ada diskriminasi dan semua warga mendapat perlakuan yang adil,” pungkasnya.(ADV)
Discussion about this post