Inspirasa.co – Rabu, 26 Juli 2023, KPK menetapkan Kepala Basarnas, Henri Alfiandi sebagai tersangka dalam kasus suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan. Nilai suap diduga mencapai Rp 88,3 miliar.
Dalam OTT di Cilangkap, KPK mengamankan delapan orang, termasuk tangan kanan Henri, Letkol Afri Budi Cahyanto. Sementara itu, Kabasarnas Marsdya TNI Henri diumumkan tersangka oleh Kpk pada jumpa pers.
Mendengar adanya jumpa pers terkait Henri, Puspom TNI kemudian mengirim tim ke KPK. Letkol Afri kemudian diserahkan ke Puspom TNI dengan status tahanan KPK beserta barang bukti uang nyaris mencapai 1 miliar rupiah.
Belakangan TNI yang mengaku tak diberi tahu lalu menggelar jumpa pers tandingan di Mabes TNI, Cilangkap. Sejumlah jenderal dipimpin Komandan Puspom TNI, Marsekal Marsda R Agung Handoko mendatangi KPK.
Pertemuan antara petinggi KPK dengan tni digelar. Setelah selesai, pihak KPK lalu mengaku khilaf dan meminta maaf ke TNI. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memahami semestinya penanganan kasus dugaan korupsi Marsekal Henri ditangani oleh polisi militer.
Perbedaan pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tentang status tersangka Kepala Basarnas, Henri Alfiandi, dalam kasus dugaan korupsi akhirnya ditutup “permintaan maaf” oleh pimpinan KPK.
Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, di kantornya, pada Jumat (28/07) sore, seusai bertemu Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Marsekal Muda R Agung Handoko.
Langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi di lingkungan Basarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang sangat keliru.
Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus secara transparan dan akuntabel.
Lebih dari itu, penyerahan proses hukum kepada TNI berpotensi membuka jalan “impunitas” bagi Henri dan Afri Budi. Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1997 merupakan sistem hukum yang ekslusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan kerap kali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana.
Padahal dalam pasal 65 ayat (2) undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Keputusan KPK tersebut dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di indonesia. Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, KPK sudah seharusnya menggunakan undang-undang KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat korupsi karena merupakan lex specialist derogat lex generalis.
Dengan demikian, KPK seharusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf.
Oleh karena itu, SAKSI (Pusat Studi Anti Korupsi) Fakultas Hukum Unmul memberikan catatan dalam menyikapi kasus ini:
1. Meminta KPK untuk tetap menangani perkara ini dengan sistem peradilan koneksitas karena pelakunya melibatkan orang sipil dengan orang yang berstatus anggota TNI.
2. Peradilan koneksitas harus dilakukan karena tindak pidana korupsi jelas merugikan kepentingan umum.
3. KPK sedianya memiliki wewenang luas dalam menangani setiap kasus dugaan korupsi, tak terkecuali kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI sebagaimana diatur dalam pasal 42 undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi.
4. Pengusutan kasus korupsi yang melibatkan oknum militer harus dilakukan sampai tuntas, tidak hanya terhadap pelaku tapi juga semua pelaku penyertaan yang aktif maupun pasif.
Discussion about this post