Sejak tercatat bermukim di Bontang pada 1992 silam, warga Ahmadiyah mengaku tak pernah mendapat tindakan intimidasi. Mereka berharap toleransi dan kondusivitas di kota berslogan bessai berinta ini senantiasa terjaga.
FITRI WAHYUNINGSIH, Bontang
ANDHIKA IBRAR Ahmad tak akan pernah melupakan peristiwa yang terjadi 1 Oktober 2010 silam itu. Segerombolan orang menyeruduk Masjid At-Taufiq, Kampung Cisalada, Desa Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hanya karena ketidaktahuan dan kesalahan persepsi akan Ahmadiyah, massa menyerang masjid mereka.
Bukan hanya masjid dirusak, pun beberapa rumah warga setempat. Warga yang tak salah dan tahu apa-apa, justru ikut menjadi korban. Hanya karena mereka seorang ahmadi— penganut Ahmadiyah. Walhasil, warga sembunyi di rumah dalam ketakutan.
Kejadian itu terjadi ketika Andhika masih remaja kelas 1 SMA. Menyaksikan sendiri kekejaman itu, Andhika merasa terluka dan kecewa. Hati kecilnya bertanya, bagaimana mungkin ada orang tega mengobrak-abrik rumah ibadah. Bahkan membakar kitab suci Al-Qur’an.
‘’Sangat jelas karena semua terjadi di depan mata saya. Paling tidak saya paham, itu jelas-jelas Al Qur’an, tapi ikut dibakar,’’ kata Andhika Ibrar Ahmad ketika disambangi di rumah misi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bontang, Kecamtan Bontang Utara, belum lama ini.
Intoleransi yang terjadi di Bogor untungnya tak pernah terjadi di Bontang, Kalimantan Timur. Bahkan menurut pria yang akrab disapa Ibrar ini, Bontang lebih mapan dalam menyikapi perbedaan dan lebih toleran.
Ibrar adalah mubaligh– ustaz– Ahmadiyah Bontang. Ia menggantikan mubaligh sebelumnya yang telah mengabdi selama 6 tahun.
Bontang jadi tempat pengabdian perdananya. Penunjukan itu diterima dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Pusat pada Oktober 2021. Tak lama usai merampungkan pendidikan syahid (setingkat S-2) khusus mubaligh di pesantren jemaat Ahmadiyah yang terletak di Bogor.
‘’Waktu ditempatkan di Bontang, saya masih kurang tahu bagaimana kondisinya,’’ jujurnya.
Ibrar belum pernah ke Kaltim sebelumnya. Sebabnya, ketika ditempatkan di Bontang, ia tak tahu bagaimana kondisinya. Ia pikir kota berpenduduk 185 ribu jiwa ini masih terisolir dan pembangunan kurang.
Pemikiran itu lantas berubah ketika ia menginjakkan kaki di Bontang pada 4 November 2021. Ia menyaksikan pembangunan di kota ini bahkan cukup progresif kendati posisinya di pesisir Kaltim. Fasilitas publik tersedia dan dan mudah diakses.

Namun ada satu hal yang menurut Ibrar jadi keistimewaan Bontang: menurutnya kota ini cukup toleran dan lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan.
‘’Saya baru 10 bulan di sini (Bontang). Alhamdullilah, sejauh ini aman-aman saja, tidak ada gangguan. Kami hidup rukun dan damai dengan semua,’’ ucapnya.
Sejak tiba pada November 2021 hingga kini, pria 29 tahun itu mengaku tak pernah mengalami gangguan, diskriminasi, atau serangan lain hanya karena identitasnya sebagai mubaligh Ahmadiyah. Justru sebaliknya, ketika tiba di Bontang, ia disambut hangat warga setempat.
Tak lama usai tiba di rumah misi, di salah satu kelurahan di Bontang Utara, Ibrar menyambangi rumah warga satu persatu.
Ia memperkenalkan diri sebagai mubaligh baru. Ini juga sebagai bentuk penghormatan Ibrar sebagai pendatang baru kepada warga setempat.
Kendati mengaku tak pernah mengalami gangguan, ia tak tahu persis bagaimana persepsi warga Bontang terhadap Ahmadiyah.
Namun ia menduga, warga cukup terbuka menerima perbedaan lantaran pada dasarnya Bontang sangat heterogen dan didominasi pendatang. Misalnya di sekitar masjid dan peace center. Tak hanya dihuni muslim sunni— muslim arus utama di Indonesia. Pun nasrani dan Ahmadiyah.
‘’Mungkin karena di sini banyak pekerja. Masyarakatnya juga sangat heterogen, banyak pendatang. Jadi tidak mempermasalahkan perbedaan,’’ ungkapnya.
Hidup Rukun dan Damai
Di tempat yang sama, Ketua JAI Bontang Puji Darminto (47) mengatakan, JAI sudah ada di Bontang sejak 1992. Jemaat Ahmadiyah sebagian besar pendatang, dan berasal dari berbagai latar belakang. Ada pekerja di pabrik, staf rumah sakit, pedagang, hingga kader posyandu.
Kegiatan jemaat Ahmadiyah di Bontang dipusatkan di sekitar Masjid An-Nasr.
Masjid itu didirikan sekitar tahun 1995 menggunakan dana urunan jemaat. Terletak di tengah permukiman warga, masjid tersebut dapat menampung sekitar 300 orang. Tepat di samping masjid, juga terdapat rumah misi dan peace center untuk menunjang aktivitas jemaat.
‘’Di daerah lain ada yang masih ruangan khusus buat ibadah saja. Tidak seperti kita di Bontang ini yang sudah ada masjid, fasilitasnya cukup lengkap,’’ sebutnya.

Di masjid itu, berbagai aktivitas jemaat digelar. Mulai salat 5 waktu, salat Jumat, pengajian internal yang dihelat tiap Sabtu malam, atau pengajian khusus pemuda Ahmadiyah yang biasa digelar sebulan sekali. Juga berbagai aktivitas sosial yang melibatkan warga setempat. Semisal donor darah massal.
Hingga kini, tercatat ada puluhan anggota JAI di Bontang. Mereka tersebar di beberapa wilayah di Bontang. Namun sebagian besar di sekitar Masjid An-Nasr.
Lebih jauh dikatakan Puji Darminto, warga Ahmadiyah tak pernah menutup diri atau menyembunyikan identitasnya. Warga setempat tahu bahwa Masjid An-Nasr dan orang-orang beraktivitas di dalamnya adalah warga Ahmadiyah. Mereka dibiarkan menjalankan aktivitas keagaamnya dengan tenang. Warga tak pernah menyoal. Tak mengganggu. Semua hidup berdampingan dalam damai.
‘’Tidak pernah ada masalah dengan warga, kami hidup berdampingan dalam rukun dan damai,’’ ucapnya.
Dalam perjalannya, guna menjaga hubungan baik dengan warga setempat, jemaat Ahmadiyah selalu membuka diri. Rumah misi dan peace center selalu terbuka pintunya bagi warga, siapa pun mereka, apapun identitasnya.
Bahkan di Masjid An-Nasr terdapat tabligh center. Itu merupakan pusat informasi dan edukasi segala hal terkait Ahamdiyah. Misalnya, meluruskan soal tuduhan bila Ahmadiyah punya nabi baru atau Al-Qu’an yang berbeda dengan muslim umumnya.
‘’Datang ke sini (tabligh center) semua akan dijelaskan langsung sama mubalighnya langsung,’’ ungkap pria 47 tahun itu.
Puji Darminto tak menampik kesalahan persepsi soal Ahmadiyah kadung menyebar ke publik. Sebabnya dia berharap, keberadaan tabligh center, rumah misi, dan peace center serta keterbukaan jemaat sedikit banyak dapat memperbaiki citra Ahmadiya di hadapan publik. Pun untuk menunjukkan bahwa jemaat Ahmadiyah tak pernah merasa eksklusif,
‘’Kami tidak pernah tertutup, bahkan sangat terbuka. Kalau ada warga yang datang kami sambut dengan sangat baik,’’ timpal Emi Hamidah, Ketua Daerah LI Kaltim.

Ditambahkan Emi, bukti keterbukaan dan saling jaga yang ditunjukkan jemaat ialah, mereka kerap melakukan kegiatan sosial dengan melibatkan warga secara umum. Seperti menggelar donor darah yang kegiatannya dipusatkan di Masjid An-Nasr, membagikan hewan qurban kepada semua warga, melakukan bersih-bersih kota (clean the city) saban awal tahun, hingga menjadi calon pendonor kornea mata.
‘’Bahkan fasilitas sekitar masjid kalau mau dipakai warga juga tidak apa-apa. Tetangga ada kebaktian, lapangan masjid sering dipakai buat parkir. Buat main badminton, atau hajatan juga,’’ usar perempuan yang aktif di berbagai kegiatan sosial itu.
Di penghujung percapakapan, Puji Darminto kembali menegaskan warga Ahmadiyah tak pernah tertutup. Pihaknya selalu membuka diri dan siap berdialog dengan siapa pun. Bahkan ia sangat menantikan dialog tersebut agar perdamaian dan toleransi di Bontang senantiasa terjaga.
‘’Harga perdamaian itu memang harus dipelihara. Harus kedepankan jiwa sosial. Mengasihi sesama. Itu misinya. Untuk membangun manusia yang hablulminallah (hubungan baik dengan Allah) dan habluminannas (hubungan bank dengan sesama manusia,’’ ungkapnya.
‘’Jemaat Ahmadiyah itu sendiri sangat terbuka. Semoga warga tidak mudah terprovokasi. Kalau ada isu atau informasi, mesti tabayyun, diskroscek langsung kalau memang ada isu negatif. Kabar angin itu tidak seperti dilihat mata,’’ tambah Ibrar ‘’Kami selalu mencoba menjalani hidup sebagaimana motto kami ‘love for all, hatred for none’, cinta untuk semua, tidak ada kebencian untuk siapa pun.’’
Editor: Ars
Discussion about this post