Samarinda – Penerapan muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah Samarinda belum bisa berjalan maksimal. Keterbatasan tenaga pendidik yang memiliki keahlian khusus menjadi faktor penghambat utama.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menegaskan bahwa absennya sumber daya manusia yang kompeten membuat pelaksanaan mulok sulit merata di seluruh sekolah.
“Siapa yang mengajar bahasa Kutai, siapa yang mengajar seni tari, siapa yang mengajarkan membuat bolu peca, atau menjelaskan kearifan lokal seperti amplang? Ketersediaan guru untuk bidang itu yang masih sangat minim,” ujarnya, Senin (15/9/2025).
Dari hampir 800 sekolah yang ada, hanya sebagian kecil yang mampu menerapkan mulok. Salah satunya SMP Negeri 2 yang sudah memiliki guru seni tari. Namun, sekolah lain masih kesulitan menyediakan tenaga pengajar khusus.
“Seharusnya pelaksanaan mulok bisa seragam di semua sekolah, termasuk pengajaran bahasa Kutai. Tapi kenyataannya tidak,” tegas Puji.
Ia mengingatkan, generasi terdahulu pernah menikmati pelajaran bahasa Kutai secara formal dengan dukungan buku ajar. Kini, fasilitas tersebut sudah tidak tersedia lagi.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Puji menilai pemerintah perlu menyusun strategi jangka panjang, misalnya dengan menugaskan guru menempuh pendidikan khusus agar memiliki sertifikasi sesuai bidang mulok.
“Kalau bicara seni tari, guru bisa dikirim ke sekolah seni di Yogyakarta. Begitu juga seni musik tradisional seperti sape, pengajarnya harus memiliki keahlian sekaligus bukti literasi. Itu yang sekarang kita belum punya,” jelasnya.
Menurutnya, tanpa tenaga pendidik yang memadai, keberadaan mulok dalam kurikulum hanya sebatas wacana.
“Kita ingin mulok hadir sebagai kearifan lokal di sekolah, tapi kuncinya ada di ketersediaan SDM. Itu PR terbesar kita,” pungkasnya.(ADV)
Discussion about this post