Inspirasa.co – Mengulik siapa gembong jaringan narkoba Internasional, Fredy Pratama yang merupakan warga negara Indonesia, asal Kalimantan Selatan.
Fredy Pratama yang dijuluki Cassanova ini mengedarkan narkoba dari Thailand ke Indonesia, hingga saat ini kepolisian masih terus memburunya.
Berdasarkan catatan data perlintasan keimigrasian, ia meninggalkan Indonesia sejak tahun 2014.
Mulanya Fredy disebut masih mengelola aset keuangannya untuk dikirim ke luar negeri menggunakan rekening keluarga serta orang terdekatnya pada 2016.
Seperti dilansir Tempo, mertua Fredy yang diketahui warga negara Thailand- adalah bos kartel narkoba di kawasan Segitiga Emas atau Golden Triangle.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Mukti Juharsa, mengatakan, karena istrinya adalah orang Thailand dan mertuanya diduga kartel narkotika di daerah Thailand.
Fredy disebut mengambil produk mereka dari kawasan Segitiga Emas -kawasan di Asia Tenggara yang menjadi pusat perekonomian narkoba dan sumber penting narkotika dunia.
Segitiga Emas mencakup sebagian Myanmar, China, Laos, Thailand. Dari kawasan itulah jaringan Fredy diduga mengemas narkoba untuk dibawa ke Malaysia dan Indonesia.
Dilansir dari BBC News Indonesia. Gembong narkoba Fredy Pratama sebetulnya sudah masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri sejak 2014.
Tapi Polri baru menerbitkan red notice terhadapnya pada Juni 2023 atau setelah sembilan tahun lamanya.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Mukti Juharsa, mengatakan pihaknya baru menerbitkan red notice karena jaringannya baru terbongkar sekarang. Sedangkan pada 2014, perkara ini di bawah kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Operasi Polri untuk membongkar sindikat narkoba Fredy Pratama dimulai sejak Mei 2023 yang diberi nama ‘Sandi Operasi Escobar’.
Tapi jauh sebelumnya, kata Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada, polisi telah telah menelusuri jejaknya dari pengungkapan kasus tindak pidana narkoba dari tahun 2020-2023.
Dalam rentang tahun itu setidaknya ada 408 laporan dengan total barang bukti yang disita mencapai 10,2 ton sabu.
Barang bukti sabu tersebut, sambung Wahyu, rupanya terafiliasi dengan jaringan Fredy Pratama.
“Jadi barang [narkoba] yang beredar di Indonesia setelah kami telusuri ada koneksi atau afiliasinya dengan jaringan Fredy Pratama ini,” ucap Wahyu seperti dilansir Detik.com.
“Dan setelah ditelusuri lebih lanjut, diketahui bahwa sindikat Fredy Pratama adalah sindikat narkoba yang cukup besar, bahkan mungkin terbesar,” sambungnya.
Lewat operasi itu pula, Polri berhasil mengungkap jaringan narkoba internasional Fredy dengan menangkap setidaknya 39 orang.
Salah satu tersangka dari penangkapan itu adalah seorang selebgram asal Palembang Adelia Putri Salma yang juga dikenal sebagai ‘ratu narkoba’ bersama suaminya Khadafi yang sedang mendekam di penjara.
Selain selebgram, jaringan Fredy juga menyasar anggota polisi yakni Kasat Narkoba Polres Lamung Selatan, AKP Andri Gustami.
Dia berperan sebagai kurir ‘spesial’. Tak cuma itu, tiga orang lain berinisial D, HY, dan MN juga disebut sebagai pengendali dalam jaringan Fredy. Padahal ketiga orang tersebut ada di Lapas Banyuasin.
Para tersangka akan dijerat dengan UU nomor 53 tahun 2009 tentang narkotika. Sebagian lagi disangka dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Total aset TPPU yang disita dalam pengungkapan kasus dengan kepolisian Thailand ini mencapai Rp273,43 miliar.
Adapun barang bukti lain yang disita sebanyak 116,346 ribu butir ekstasi, 13 kendaraan, empat bangunan, dan sejumlah urang di ratusan rekening.
Kenapa baru sekarang ditindak?
Advokat yang juga manager program Yayasan Aksi Keadilan Indonesia, Kris Penabulu, mempertanyakan langkah polisi yang baru menerbitkan red notice setelah sembilan tahun menjadi buronan.
Red notice adalah permintaan kepada penegak hukum di seleruh dunia untuk mencari dan menangkap seseorang sambil menunggu ekstradisi, penyerahan diri, atau tindakan hukum serupa.
Menurut dia, rentang waktu sembilan tahun menjadi DPO terbilang lama. Sementara kalau merujuk pada Perkapolri nomor 14 tahun 2021 semestinya ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai buron maka aparat penegak hukum harus segera menemukan dan menangkap agar proses pidana berjalan lebih cepat.
“Publik melihat setelah sembilan tahun baru keluar red notice, itu jadi pertanyaan ada apa?” ujar Kris kepada BBC News Indonesia.
Ia juga berkata, penangkapan terhadap puluhan orang jaringan Fredy harus menjadi momentum untuk menangkap pengedar kelas kakap lainnya.
Serta mengejar seluruh orang yang terlibat dalam gembong Fredy. Sebab, ungkapnya, tak menutup kemungkinan ada keterlibatan aparat polisi selain mantan Kasat Narkoba Polres Lamung Selatan, AKP Andri Gustami.
“Kasus Teddy Minahasa kan membuka tabir yang gamblang kalau keterlibatan aparat di kasus peredaran narkoba ada. Ini menandakan aparat kita ada di lingkaran itu.”
“Ada yang menjadi pengguna, perantara, atau pengedar bahkan membekingi bandar.”
Mengapa gembong narkoba sulit ditangkap?
Terbongkarnya jaringan gembong narkoba Fredy Pratama mengingatkan pada Freddy Budiman yang juga salah satu gembong narkotika terbesar di Indonesia.
Freddy Budiman disebut mengedarkan narkoba dan membuat pabrik sabu dari dalam lapas.
Meski telah diputus eksekusi mati, Freddy Budiman tidak berhenti memproduksi sabu dari Lapas Narkotika Cipinang.
Pada Juli 2016, dia akhirnya dihukum mati di Nusakambangan, Jawa Tengah. Kalau merujuk pada penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) tahun 2022, dari total 1.335 kasus narkotika yang diputus pengadilan, pihak yang paling banyak dijebloskan ke penjara adalah pengguna sebanyak 44,6%.
Kedua terbanyak merupakan kurir sebesar 24%.
Ketiga adalah pengedar 18%, bandar 12,9%, dan terakhir yakni produsen hanya 0,4%.
Penangkapan perwira polisi kasus narkoba di Karawang, ‘Kasus berulang, ada yang salah di internal Polri’ Bagaimana kapal selam rakitan sepanjang 20 meter digunakan untuk menyelundupkan kokain senilai Rp2,2 triliun dari Amerika Latin ke Eropa Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Girlie Aneira Ginting, mengatakan mandat UU Narkotika sebetulnya ditujukan untuk menindak jaringan pengedar narkoba dalam skala besar.
Tapi pada praktiknya, aparat polisi selalu menyasar pengguna dengan barang bukti kurang dari satu gram. Keadaan ini, kata Girlie, menguntungkan pengedar, jaringan besar, dan aparat hukum yang korup.
“Karena mode pendekatannya pemidanaan. Sehingga membuka ruang besar untuk pejabat korup dan memanfaatkan pasar narkotika,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
“Kita tidak usah munafik bahwa ada permintaan narkotika yang besar di Indonesia.” Menurutnya, pemerintah harus meregulasi ulang kebijakan narkotika di Indonesia agar fokus mengejar para gembong narkoba.
Yakni denganmendekriminalisasi pengguna di bawah satu gram, misalnya. Dengan begitu aparat hukum akan mengalihkan kekuatan mereka mengejar dan menangkap jaringan besar.
“Keahlian polisi dipaksa untuk memburu perdagangan besar narkotika ilegal. Tidak lagi mengurusi pengguna-pengguna yang kecil ini.”
Beberapa negara yang berhasil menerapkan cara seperti itu, kata Girlie, adalah Portugal dan Belanda.
Polri bantah lamban tangani kasus Fredy Pratama
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Mukti Juharsa, menolak disebut lamban menindak gembong narkoba Fredy Pratama.
Dia berdalih pada 2014 kasus ini ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN). “Waktu itu [kasus] Fredy di BBN, bukan di bawah kita. Beda dong investigasinya sama kita,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Mukti juga mengeklaim telah mengantongi semua pihak yang masuk dalam jaringan Fredy sembari melakukan ‘pengembangan’.
Yang pasti, kata dia, kaki tangan Fredy akan dikejar. Baginya Fredy Pratama adalah jaringan biasa.
“Jangan dibesar-besaran orang itu, kecil aja kok jaringan dia, biasa aja.”
Discussion about this post