“Momentum Peringatan Hari Internasional Perempuan, dedikasi untuk jurnalis perempuan di Kota Bontang”
Sudah mulai banyak perempuan yang berkiprah di dunia kerja profesi jurnalistik. Setali tiga uang dengan jumlah media massa yang meningkat pesat.
Profesi jurnalis bukan hanya soal bekerja, lalu menerima kompensasi, tidak sebanding dengan beban dan risiko pekerjaan yang harus mereka ambil.
Bicara soal hak untuk bebas menentukan dari rasa ketakutan, jurnalis perempuan dihadapkan pada konsekuensi dilematis.
Nyatanya, masih banyak jurnalis perempuan yang rentan terkena diskriminasi, pelecehan atau kekerasan seksual saat melakukan pekerjaan jurnalistiknya.
Di momentum perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini, menjadi refleksi terhadap kondisi jurnalis perempuan, khususnya di Kota Bontang.
Tiga perempuan jurnalis aktif yang melakukan kerja-kerja jurnalistik di Kota Bontang ini, membeberkan perihal tantangan dan ancaman yang diterima sepanjang melakukan peliputan.
Hingga pentingnya prosedur operasional standar (SOP), terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk jurnalis perempuan.
Mendorong perusahaan media punya SOP peliputan berisiko
Fitri Wahyuningsih, perempuan 27 tahun menjadi jurnalis sejak 2019 hingga saat ini, gamblang mengungkapkan, dalam rentang selama berkarier, lingkungan media masih belum aman bagi jurnalis perempuan.
Fitri mengaku, beberapa kali mengalami bermacam gangguan verbal dan non verbal, dialami saat melakukan pekerjaan jurnalistiknya.
“Tindakan itu tentu sangat merendahkan martabat. Juntrungnya membuat saya tak nyaman menjalankan kerja-kerja jurnalistik,” bebernya.
Pengalaman buruk itu dikatakan Fitri, rentan dialami semua rekan jurnalis perempuan yang dijumpainya, saat melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Namun tak banyak yang bisa mereka lakukan menepis gangguan-ganguan itu. Karena bingung bagaimana cara menangani.
Belum lagi relasi kuasa kerap tak imbang antara pelaku dan korban. Ini membuat kasus pelecehan seksual di lingkungan media seolah tak penting. Terlebih menurutnya, belum ada media di Bontang menerapkan dan menyediakan prosedur operasional standar (SOP), dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk jurnalis perempuan.
“Sependek pengetahuan saya, belum ada perusahaan media di Bontang yang punya SOP penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual,” bebernya.
Akibat dari ketiadaan SOP itu, membuat korban jurnalis perempuan ini seperti berjalan sendiri tanpa bisa berbuat. Hal itu jika dibiarkan, tentu sangat rentan membuat korban trauma.
“Saya sangat berharap agar perusahaan media di Bontang menyusun SOP penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual. SOP ini penting agar lingkungan media bisa lebih aman. Bukan hanya untuk jurnalis perempuan, juga laki-laki atau non biner sekalipun,” urainya.
Jurnalis Perempuan harus berani bersuara perjuangkan kesetaraan gender
Yuli perempuan 28 tahun menjadi jurnalis aktif sejak 2014 hingga saat ini mengatakan, Hari Perempuan Internasional, jadi momen yang pas untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
Yuli menekankan, saat ini jurnalis perempuan masih terkendala ketidaksetaraan gender, tak jarang kerap dipandang sebelah mata. Padahal sejatinya, perempuan pun punya potensi yang sama dengan kaum laki-laki.
Ruang aman bagi jurnalis perempuan juga rasanya masih sempit. Masih ada beberapa keluhan jurnalis perempuan, yang menyebut dilecehkan, baik itu secara verbal maupun nonverbal.
“Kenapa? Karena perempuan sering dianggap lemah, tidak berdaya,” ungkapnya.
Untuk itu, jurnalis perempuan harus lebih berani bersuara dan melawan, ketika mendapat perlakuan yang tidak mengenakan, saat menjalankan tugas liputan.
Wadah Perlindungan jurnalis perempuan di Bontang
Mira perempuan 29 tahun menjadi jurnalis aktif sejak 2019 hingga saat ini, mendorong wadah yang memperjuangkan hak-hak jurnalis perempuan benar-benar getol, memperjuangkan diskriminasi dalam pelbagai bentuk yang dialami jurnalis perempuan di setiap daerah.
“Sampai saat ini perlindungan terhadap jurnalis perempuan masih sangat minim. Baik pelecehan seksual, verbal, fisik ataupun lainnya. Perlindungan dari organisasi pers, kantor bahkan sesama rekan belum maksimal bahkan nyaris tidak tertangani,” jelasnya.
Menurutnya, budaya patriarki masih sangat kental, seharusnya sebagai seorang jurnalis bisa menempatkan dirinya sebagai patriarki maupun feminisme.
“Di Bontang pun, jurnalis perempuan terpaksa menghadapi masalah tersebut sendiri karena tidak ada ruang aman. baik kantor, lingkungan, bahkan teman, kantor ataupun organisasi pers,” tukasnya.
Maka dari itu, Mira mendorong benar-benar ada wadah bagi perlindungan jurnalis perempuan, khususnya di Bontang. *(Aris).
Discussion about this post