Inspirasa.co – Jurnalis asal Maros, Sulawesi Selatan, Eko Rusdianto, menerima penghargaan Oktavianus Pogau dari Yayasan Pantau, Senin (31/1/2022) lalu. Penghargaan itu diberikan lantaran ia dinilai menunjukkan keberanian, dan sikap mau belajar yang mestinya dimiliki oleh setiap jurnalis. Selain itu, ia mampu menghasilkan laporan berkualitas.
Saya ‘penulis’ berkesempatan mewawancarai Eko Rusdianto belum lama ini. Saya menanyakan seputar penghargaan Oktavianus Pogau, bagaimana proses penulisan liputannya yang cukup menggemparkan itu “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.”
Selain itu, yang tak kalah penting, mengapa ia memilih jalan sunyi sebagai penulis lepas alih-alih bekerja di media yang sudah mapan. Sebagai jurnalis yang juga memulai dan meniti karir di daerah, bagi saya aspek ini sangat menarik buat diulik. Sudah bukan rahasia lagi, hidup jurnalis di Indonesia cukup memprihatinkan. Namun semakin menyedihkan lagi bagi penulis lepas dan kontributor.
Berikut sedikit cuplikan wawancara saya ‘penulis’ dengan Eko Rusdianto:
Q: Anda menerima penghargaan Oktavianus Pogau dari Yayasan Pantau belum lama ini, bagaimana perasaan Anda dan siapa yang pertama kali menghubungi Anda pertama kali?
A: Perasaan tidak ada yang berubah. Tetap sebagai seorang ayah dan seorang suami.
Tapi Pogau adalah penghargaan yang menawan bagi saya. Sebab apresiasi ini diberikan oleh sekolompok wartawan kepada wartawan. Sama dengan saya atau mungkin kamu, mengidolakan sebuah karya dan ingin sekali membuat karya serupa. Tak hanya itu, Pogau adalah nama yang menarik. Dia mewakili sebuah entitas minoritas yang menyeruakan gema “kecil” dari sudut negeri ini. Tentang Pogau saya kira Pantau sudah mengulasnya.
Beberapa hari, sebelum pemenang penghargaan ini dipublikasi, Andreas, menghubungi saya. Dia menyampaikan, kalau para juri di Pantau sepakat memberikannya pada saya. Tentu saja, saya tidak percaya karena pada awalnya, saya menominasikan wartawan lain yang menurut saya lebih matang.
Saya menjadi wartawan, secara profesional, tahun 2008, menulis tentang Ahmadiyah di Pantau. Tulisan itu, membuat saya terlena karena beberapa respon yang positif dan akhirnya membawa pertemanan dengan penganut Ahmadiyah hingga sekarang.
Jadi, saya kira menjadi wartawan, dengan tujuan utama memberi ruang bicara pada orang-orang yang membutuhkan, juga menjadi ruang perjumpaan sosial antara setiap mahluk. Manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam.
Q: Apakah Anda tahu masuk dalam nominasi penghargaan Oktavianus Pogau?
A: Saya tidak tahu. Nanti ketika Andreas– sebagai tim Pantau– menghubungi dan menyatakan saya terpilih.
Q: Dari siaran pers Pantau, disebutkan Anda menerima penghargaan ini karena laporan Anda berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang terbit di Project Multatuli dianggap berani. Mengapa Anda tertarik melaporkan kembali kasus itu, mengingat itu kasus lama? Dan bolekah ceritakan sedikit proses penulisannya?
A: Naskah di Multatuli hanya salah satu. Titik poin membicarakan perjalanan jurnalistik saya. Ini yang pertama kali saya bicarakan dengan Andreas ketika dia menyampaikan soal Pogau.
Saya bilang, jika naskah ini menjadi kriteria utama, tentu sangat tidak layak mendapatkan Pogau. Jika hanya satu naskah. Tapi Andreas, meyakinkan saya, jika para juri membaca beberapa naskah saya. Dia bilang, melihat konsistensi dan tema yang selama ini saya tulis di berbagai media.
Dan ini yang membuat saya bisa menerimanya. Perjalanan menghasilkan naskah di Multatuli mengenai kasus dugaan perkosaan – dalam bahasa formal kepolisian adalah pencabulan– adalah refleksi perjalanan panjang. Saya tidak mungkin menulis naskah itu dalam sudut pandang yang seperti dibaca saat ini, tanpa pengalaman liputan.
Jadi ini bukan soal, kenapa saya tertarik. Ini lebih pada, mengapa saya menemukan kisah ini. Seperti jawaban di bagian awal, bahwa perjumpaan-perjumpaan dengan banyak orang, membuka mata saya, tentang apa itu jurnalisme. Menyampaikan atau memberi ruang pada masyarakat. Saya berusaha melakukannya.
Q: Laporan Anda yang tayang di Project Multatuli itu viral. Bahkan sampai membuat tanda pagar #PercumaLaporPolisi trending berhari-hari di Twitter. Apakah Anda sudah menaksir laporan itu bakal meledak? Selama viralnya tulisan itu, apa yang Anda lakukan dan apakah Anda pernah mendapat gangguan? Entah secara langsung, melalui telepon atau media sosial.
A: Saya tidak pernah memperkirakan akan seramai ini. Teman-teman di Multatuli juga tidak menyangka. Bahwa kemudian, tulisan ini dibaca banyak orang dan memberi perubahaan, itu menjadi sangat luar biasa.
Selama ini, beberapa tulisan yang saya hasilkan memang dibicarakan beberapa komunitas. Meski tidak secara massif, dan tidak seramai tulisan di Multatuli. Tapi dibincangkan dan cukup membawa perdebatan dan menciptakan wacana.
Salah satu hal yang paling membahagiakan adalah gerakan replikasi naskah itu oleh beberapa media, ketika website Multatuli di retas. Ini memberikan saya semangat, jika jiwa jurnalisme di Indonesia, masih ada. Dan saya senang berada dalam dunia ini.
Dan soal ancaman, sebenarnya tetap ada. Tapi saya tak ingin membicarakan itu. Prosedur keamanan dan meminimalisir itu sudah dilakukan, oleh saya dan jaringan teman-teman.
A: Saya mau bahas sedikit posisi Anda sebagai jurnalis lepas yang berbasis di daerah pula (luar Jakarta-Jawa). Mengapa Anda memilih jadi penulis lepas, bukannya bekerja di media yang sudah mapan? Kita tahu nasib jurnalis di Indonesia secara umum, apalagi di daerah cukup memperhatikan. Tapi lebih menyedihkan lagi bagi mereka yang berstatus penulis lepas atau kontributor.
A: Haha, saya menulis essay pendek ini di remotivi – dalam rilis Pantau – juga ada link yang disertakan untuk melihat tulisan itu. Sebenarnya ini pertanyaan yang sulit. Tapi saya coba menjawabnya.
Pertama: saya sudah tidak sepakat mengenai garis imajiner atau pengkotakan antara wartawan daerah dan wartawan nasional (yang meliput di Jakarta dan Jawa). Label itu, sangat melukai hati saya.
Meski tak dipungkiri, di Jakarta sebagai ibu kota negara, isunya bergerak lebih besar dan memang mempengaruhi lapisan masyarakat, hingga desa terpencil. Tapi apakah dampak kebijakan besar itu, hanya dipotret dari ruang kementrian atau istana yang membincangkannya? Saya kira fakta lapangannya ada pada masyarakat di akar rumput.
Jika suplai beras tersendat dan pemerintah membuka keran impor, Jakarta sebagai kota yang tidak memiliki lahan, tentu saja sangat membutuhkannya. Tapi apakah keadaan itu sama dengan yang dirasakan oleh penduduk di Kabupaten Sidrap di Sulawesi Selatan? Atau misalnya Ternate yang tidak memiliki lahan basah pertanian padi juga mengalami hal yang sama?
Kedua: Saya kira alasan inilah yang membuat saya memilih jalan sebagai jurnalis lepas. Indonesia ini luas sekali, mengunjungi satu tempat membutuhkan waktu yang lama, dan membutuhkan pengetahuan yang matang. Belajar dan bertemu dengan banyak orang, melakukan wawancara, melihat dan merasakannya adalah hal paling dasar dalam jurnalisme. Saya menyebutnya sebagai kontemplasi.
Dan saya sadar, jika menjadi wartawan tetap di sebuah media, apakah mereka mau sebagai industri, memberikan saya gaji, yang meninggalkan kantor, paling cepat dua pekan, dan menulis selama sepekan kemudian, hanya untuk menghasilkan satu naskah?
Ketiga: Lalu kenapa saya bertahan menjadi wartawan lepas sampai saat ini. Tentu saja dukungan keluarga. Istri saya, yang juga bekerja paruh waktu, menghargai dan menghormati setiap naskah yang saya hasilkan. Dia membacanya dengan pelan, dan mendiskusikannya. Kami banyak berdebat, tentang berbagai isu. Dan kisah itu, akan diceritakan kembali pada anak saya. Ekosistem inilah yang membuat saya bahagia.
Kami selalu, dan acapkali kekurangan dalam hal finansial. Tapi kami bahagia melakukannya. Dan menyebutnya sebagai ibadah. Di Sulawesi Selatan, kami memahami, pada seseorang yang bisa dipegang adalah ucapannya, jika berbohong, maka nilainya sebagai manusia hilang. Dan pada jurnalisme, karya yang memenuhi metode ketat yang menghasilkan naskah akan berubah menjadi filosofi ini.
Q: Anda berani dan suka meliput isu yang cukup sensitif seperti diskriminasi, kasus hukum yang mandeg, perampasan tanah serta pengrusakan lingkungan. Mengapa Anda tertarik meliput isu itu?
A: Saya harus mengatakan, saya tak berani dalam arti harafiah. Saya benar-benar seorang penakut. Dimana seingat saya, tak pernah berkelahi.
Pada aktvitas saya sebagai jurnalis, saya hanya melakukan metode jurnalismenya. Mendatangi orang-orang dan menyebutkan diri sebagai sebagai wartawan. Meyakinkan mereka untuk datang dan menjadi pendengar. Pada orang-orang biasa – saya menyebutnya demikian, karena mereka tak punya akses langsung dalam menyampaikan pandangan – saya hanya berusaha menjadi jembatan.
Proses jurnalisme ini adalah proses belajar yang terus tumbuh. Suatu kali misalkan, saya menemui seorang petani yang lahannya dirampas PTPN, dia memiliki bukti surat dan masih menyimpan surat perjanjian. Ada ratusan hektar lahan warga yang terhisap dalam HGU perusahaan itu. Tapi Pak Nuh, seorang petani yang lahannya hanya ada empat hektar, mati-matian memperjuangkannya. Dia bilang pada saya; pada keyakinan agamanya, apa yang menjadi kepunyaannya secara sah dan direbut orang lalu tidak dipertahankan, maka itu menjadi sebuah dosa. Ini bukan soal mengikhlaskan.
Q: Apakah Anda punya saran buat jurnalis lain, khususnya di daerah yang tertarik meliput isu-isu tersebut?
A: Rasanya, saya bukan siapa-siapa memberikan saran, yang baru anak kemarin sore dengan pengalaman kecil dalam liputan. Tapi saya percaya, jurnalisme bukan hanya soal profesi yang dapat menghasilkan uang. Tapi ini adalah ilmu yang terus bertumbuh bersama dinamisnya masyarakat.
A: Menurut Anda, apa makna keberanian dalam jurnalisme?
Q: Menjalankan metode. Menemukan fakta. Dan mengabarkannya.
Sebagai informasi, Eko Rusdianto adalah penulis lepas kelahiran September 1984, di kampung Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Dia kuliah jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Fajar.
Dia telah mengirim naskah ke berbagai media, di antaranya Vice, Mongabay, Historia, New Nararif, Al Jazeera, South China Morning Post (SCMC), dan Project Multatuli.
Selain itu, dia juga menerbitkan antologi termasuk Titik Krisis di Sulawesi; Narasi Jurnalistik Atas Kehancuran Ruang dan Sumber Daya Alam (2020), Tragedi Di Halaman Belakang: Kisah Orang-orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi (2020) serta Meneropong Manusia Sulawesi (2022).
Penulis: Fitri Wahyuningsi ‘kepada Inspirasa.co.’
Discussion about this post