SAMARINDA – Predikat Kota Layak Anak (KLA) yang disematkan kepada Samarinda belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan, menurut Sri Puji Astuti, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda. Ia menyoroti bahwa manfaat predikat ini belum dirasakan merata oleh semua anak, terutama mereka yang tinggal di daerah pinggiran kota.
“Label Kota Layak Anak jangan hanya jadi pajangan. Tapi harus benar-benar dirasakan oleh anak-anak, apalagi di kampung-kampung,” ujar Puji saat diwawancarai, Kamis (26/6/2024).
Puji menyoroti masalah serius yang masih kerap luput dari perhatian, yakni praktik pernikahan dini. Ia menegaskan, pernikahan anak yang difasilitasi oleh penghulu ilegal merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak.
“Kalau sudah dinikahkan muda, bagaimana mungkin kita bicara soal wajib belajar 12 tahun?” katanya.
Menurut Puji, banyak anak di Samarinda terpaksa menghentikan pendidikan karena menikah di usia remaja. Fenomena ini berlangsung secara tersembunyi dan kurang mendapat pengawasan pemerintah. Ia juga mengkritik sejumlah program KLA yang dinilai masih bersifat simbolik. Baginya, penyediaan taman bermain atau ruang ramah anak di pusat kota tidak cukup jika anak-anak di wilayah lain masih bekerja di jalanan, menikah muda, atau tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.
“Kita tidak bisa mengklaim layak anak kalau di satu sisi anak-anak masih bekerja, dinikahkan, atau tidak punya akses pendidikan yang memadai,” tegasnya.
Puji menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap praktik pernikahan dini, khususnya yang melibatkan penghulu liar. Tanpa tindakan tegas, praktik ini diperkirakan akan terus berulang dan sulit diatasi. Lebih jauh, Puji menegaskan bahwa pembangunan kota ramah anak harus melibatkan berbagai sektor, bukan hanya menjadi tanggung jawab Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).
“Harus ada keterlibatan Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, bahkan aparat penegak hukum. Semua harus ikut serta,” ujarnya.
Meski demikian, Puji mengapresiasi beberapa program pemerintah seperti Kartu Identitas Anak (KIA), program internet sehat, dan penyediaan ruang ramah anak di fasilitas umum. Namun, ia mengingatkan bahwa distribusi program tersebut masih belum merata.
“Kita tidak bisa puas hanya karena ada program. Kita harus memastikan anak-anak di semua sudut kota terlindungi dan mendapat haknya,” katanya.
Puji mengakhiri dengan pesan tegas bahwa membangun Kota Layak Anak bukan sekadar soal infrastruktur, melainkan soal kepedulian bersama. Jika anak-anak terus kehilangan masa kecil mereka, masa depan Samarinda pun akan terancam.
(ADV/DPRDSmd/Huda)
Discussion about this post