Samarinda – Sebanyak 14 bangunan permanen berdiri di atas tanah milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) di Jalan Angklung, RT 34, Kelurahan Dadimulya, Samarinda Ulu. Anggota Komisi III DPRD Kaltim dari Fraksi PKB, Jahidin, mempertanyakan legalitas bangunan-bangunan tersebut yang sebagian besar tidak memiliki izin maupun kontrak sewa, dan menilai hal ini sebagai bentuk penyalahgunaan aset negara yang berpotensi merugikan keuangan daerah.
Dari total 14 bangunan yang berdiri di lokasi tersebut, hanya tiga yang dinilai Jahidin memiliki fungsi pelayanan publik, yaitu Kantor Kelurahan Dadimulya, Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Sekretariat Persatuan Haji Indonesia (PHI). Sementara 11 bangunan lainnya, termasuk properti pribadi dan kafe, menurutnya tidak memiliki nilai manfaat bagi masyarakat dan justru berpotensi melanggar hukum.
“Bangunan seperti kafe jelas tidak ada manfaat publiknya. Ini penyalahgunaan aset Pemprov,” tegasnya saat diwawancarai.
Jahidin menyoroti salah satu bangunan dua lantai yang tergolong mewah dan diduga baru dibangun dalam lima tahun terakhir di atas lahan yang sebelumnya merupakan tanah kosong milik Pemprov. Ia mendesak agar pengawasan lintas komisi dilakukan secara menyeluruh dan transparan, serta meminta Komisi II yang membidangi aset dan keuangan segera berkoordinasi dengan Komisi I dan III.
Menurutnya, langkah selanjutnya adalah menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Badan Pertanahan Nasional (BPN) Samarinda, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tujuannya untuk menelusuri dasar pendirian bangunan-bangunan tersebut: apakah berdasarkan kontrak sewa, jual beli ilegal, atau klaim warisan tak sah.
“Kalau benar dijual, itu mustahil. Karena tanah ini adalah aset Pemprov, dan pengalihan harus melalui persetujuan DPRD,” tegasnya.
Jahidin juga memperingatkan bahwa pembiaran terhadap praktik seperti ini dapat menciptakan preseden buruk bagi tata kelola aset negara. Ia mencontohkan bahwa beberapa oknum mulai mengklaim lahan tersebut sebagai warisan keluarga, padahal jelas-jelas merupakan milik Pemprov yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan organisasi perangkat daerah (OPD) yang masih kekurangan ruang kantor representatif.
Nilai ekonomi lahan di kawasan tersebut menjadi sorotan tambahan. Menurut Jahidin, kapling berukuran 15×25 meter bisa mencapai Rp1,5 hingga Rp2 miliar. Nilai tinggi inilah yang disebutnya menjadi alasan utama banyak pihak berusaha menguasai tanah negara untuk kepentingan pribadi.
“Perumahan Korpri yang dibangun sejak 1976 saja terkesan dibiarkan, dan kini lahan negara justru dikuasai pihak-pihak tak bertanggung jawab. Ini harus segera dihentikan,” tutupnya. (Adv/DPRD Kaltim)
Discussion about this post