Inspirasa.co – Wakil Wali Kota Bontang Agus Haris angkat bicara soal pernyataan Ketua DPRD Kutim yang meminta Pemkot Bontang untuk mencabut RT yang ada di Dusun Sidrap dan menyatakan menuntaskan Dosa Administrasi.
Ditegaskan Agus Haris, bahwa putusan MK tidak menyatakan Sah atau tidak Sah dusun Sidrap bagian dari Wilayah Adminstrasi Kutai Timur.
Baik dalam pertimbangan hukum mapun Amar Putusan, itu jelas ada di Permendagri 25 tahun 2005, tetapi yang dimohonkan Pemkot Bontang sebagai pemohon adalah ketidak sesuai antara norma pasal dan penjelasan beserta lampiran 5 UU 47 tahun 1999 dengan tujuan agar MK dapat memberikan keputusan untuk penegasan batas wilayah Kota Bontang.
Hal ini yang menurut pertimbangan hukum MK harus dilakukan penarikan dan penentuan titik koordinat dilapangan, dan melibatkan lembaga yang kompeten.
MK tidak memiliki kewenangan serta kemampuan menetukan titik-titik koordinat, sehingga MK berpendapat yang tepat melakukan itu adalah pembentuk UU, dikarenakan Sistem Kebijakan Hukum Terbuka (open legal Policy) yang tidak bisa di langar oleh MK sendiri.
Oleh kerena sistem ini MK sendiri yang menciptakan pertama kali dalam Putusanya Nomor 010/PPU-III/2005, yang membedakan antara konstitusionalitas dan kebijakan.
Atas dasar tersebut MK memerintahkan Pembentuk UU segera melakukan peninjauan batas daerah yang dimohonkan. Bahwa MK dalam pertimbangan hukumnya meniti beratkan pada dua aspek dalam penentuan batas wilayah.
Pertama mendengarkan aspirasi masyarakat yang ada diperbatas antara daerah. Kedua penentuan titik koordinat dilakukan oleh Institusi/Lembaga yang benar-benar menguasai/memahami dengan baik terkait pemetaan.
“Oleh karena yang akan mengalami dampak buruk dari penentuan batas wilayah adalah masyarakat yang ada di perbatasan. Karena paradigma penentuan pemekaran wilayah bukan hanya batas adminitrasi yang bertumpuh pada garis-garis wilayah semata, melainkan pada pelayanan publik yang akan mementukan kesejatraan masyarakat,” jelas Agus Haris kepada awak media dalam konfrensi pers, Selasa (7/10/2025).
Bahwa pernyataan ketua DPRD Kutai Timur yang meminta kepada Pemkot Bontang untuk mencabut RT yang ada di dusun sidrap.
“Perlu kami tegaskan bahwa pembentukan 7 RT yang ada di dusun sidrap bukan dibentuk dengan tiba masa tiba akal melainkan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 tahun 2002 tentang Pembentukan Kelurahan Kanaan, Gunung Telihan, Guntung, Api-Api, Gunung Elai dan Tanjung laut Indah,” tegas Agus Haris.
Jauh sebelum keluarnya permendagri Nomor 25 tahun 2005, tidak menjadi sebuah Kelurahan Guntung jika 7 RT yang ada di Sidrap tidak masuk bagian dari Kelurahan gungtung.
“Jadi jelas bahwa Sidrap itu wilayah guntung ada perdanya maka keberadaan 7 RT itu adalah Sah secara hukum, jadi pernyataan Ketua DPRD Kutim tendensius,” sambung Agus Haris.
Terkait adminstrasi kependudukan yang dianggap Dosa Administrasi, pelu di jelaskan dan hal ini telah di paparkan Pemkot Bontang dalam permohonan kepada MK.
Keberadaan admintrasi kependudukan masyarakat sidrap itu telah ada jauh sebelum Bontang menjadi Kota, masih KTP Siak pada saat itu, jadi berbeda halnya jika administrasi kependudukan masyarakat itu ada setelah keluar Permendagri 2005.
Maka dari itu Pemkot Bontang memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat sidrap sampai tahun 2013, dan itu terhenti karena menurut penjelasan dari pihak Pemkot Bontang pada saat itu.
“Bahwa ada rekomendasi dari BPK yang saya sendiri tidak pernah lihat rekomndasi tersebut, dan coba saya temui BPK pada saat itu masih anggota DPRD Bontang tapi pihak BPK juga tidak bisa menunjukan rekomendasi itu hingga saat ini,” ungkap Agus Haris
“Jadi saya tegaskan bahwa adminstrasi kependudukan masyarakat Sidrap Sah secara hukum, dan mereka warga Bontang yang dalam hukum hak-hak mereka wajib kita penuhi karena itu adalah hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi,” jelas Agus Haris.
Lebih jauh dikatakan Agus Haris, bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat, karena dalam hukum acaranya MK tidak mengenal banding atau kasasi, dan juga menganut asas Erga Omnes (mengikat untuk semua).
Tetapi hal ini tidak menutup hak masyarakat untuk memperjuangkan keadilannya, yang dirampas oleh berlakunya sebuah peraturan perundang-undangan.
Upaya-upaya tersebut terdiri dari Legislatif Reviuw ( Revisi UU) Eksekutif Reviuw (Perubahan Peraturan) dan untuk mengajukan kembali Uji Materi Ke MK, dimungkinkan kareba ranahnya ada diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam pasal 60 ayat UU No. 8 tahun 2011 perubahan UU 24 tahun 2003 tentang MK.
Menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat pasal dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali.
“Kecuali jika materi muatan dalam UUD 45 yang dijadikan dasar pengujian berbeda,” kata Agus Haris.
Selanjutnya pasal 78 peraturan MK Nomor 2 tahun 2021, dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 45 yang dijadikan dasar pengunian berbeda atau terdapat alasan pemohon yang berbeda.
Jadi sejalan dengan hal tersebut diatas dan juga pertimbangan hukum MK yang bagian tidak terpisahkan dari Amar putusannya.
“Maka langkah masyarakat sidrap saat ini untuk melakukan upaya Ke DPR RI dan Juga ke Pemerintah dalam hal ini mendagri dan bahkan mau mengajukan uji materi kembali sangat terbuka dan dilindungi oleh UU, jelas tidak ada istilah ruang tertutup dalam hal masyarakat untuk memperjuangkan keadilan sosial bagi mereka,” tegas Agus Haris.
Discussion about this post